Membubarkan Banser Ala Aceng
Aceng Maarip adalah salah satu orang
yang berada di barisan paling depan dalam rangka jihad melawan orang-orang yang
dianggapnya radikal. Ia adalah seorang putra guru ngaji yang juga merangkap sebagai
ketua dewan kemakmuran di masjid kampungnya. Tentu orang tuanya sangat NU
dengan menamai anaknya demikian. Sampai kata orang-orang di setiap pengajian
yang dilaksanakan tiap malam jum’at, pak guru ngaji sering berkata pada jama’ahnya
bahwa ia rela mati demi menjaga martabat dan kehormatan NU. Begitu pun jama’ahnya,
harus siap kalau-kalau NU sedang sangat membutuhkan mereka.
Kembali lagi ke Aceng. Untuk tambahan
informasi, sekarang ia menjabat sebagai ketua Banser Kecamatan selain juga
dipercaya menjadi Ketua Karang Taruna di desa. Aceng juga merupakan seorang
sarjana yang berkuliah di salah satu perguruan tinggi terbaik di Kabupaten,
mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam. Aceng bukan seorang anak kos, selama
kuliah ia tinggal serta mengaji sekaligus menjadi santri di pondok pesantren
tempat bapaknya dulu mondok. Setelah lulus Aceng pulang kampung, dan dari sana
ia mulai ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan masyarakat, entah itu di
kampungnya, desanya, kecamatannya, atau di kabupatennya. Ia mengabdikan dirinya
untuk masyarakat. Demi menghemat kata agar tidak terlalu terlihat
menyempurnakan Aceng, sebab apa yang telah ia perbuat untuk masyarakat sudah
tidak dapat dihitung banyaknya, maka dari itu pembahasan mengenai prestasinya dicukupkan
sekian. Yang jelas, sudah barang tentu Aceng adalah cerminan sosok anak ideal yang
banyak menjadi idaman setiap orang tua.
Malam ini Aceng sedang duduk gelisah
di bale RW 03 yang sejak sore tadi sudah ditata sedemikian rupa untuk kebutuhan
musyawarah mendesak. Kegelisahan yang sekarang sedang berseliweran di hatinya,
terutama yang membuat kepalanya mendidih, bersumber pada kenyataan bahwa #BubarkanBanser memuncaki topik hangat perbincangan
nomor satu dunia di jagat twitter. Ini
jelas sebuah ketololan, terlebih Aceng melihat hal ini adalah sebuah deklarasi
perang terbuka antara Banser dan tikus-tikus yang menyebut dirinya laskar FPI. Ia
tak dapat menerimanya bagaimanapun, ini adalah sebuah penghinaan terhadap Banser,
terhadap NU.
“Ini tidak
bisa kita biarkan, cucunguk-cucunguk itu sudah keterlaluan! Mereka pikir
kelompok tololnya yang disebut Laskar FPI itu lebih baik daripada kita? Dasar
sampah masyarakat! Benalu NKRI!!!” Damprat Aceng akhirnya.
“Ya, memang
sudah keterlaluan!” Forum membenarkan.
“Sebaiknya
apa langkah kita untuk menghadapi situasi ini?” Tanya salah seorang.
“Kita harus
cepat bertindak, cepat dan tegas, kasih mereka pelajaran!”
“Tindakan
seperti apa tepatnya?” Tanya salah seorang lagi.
“Besok kita
datangi tempat mereka berkumpul. Kita suruh mereka minta maaf! Kalau batok
kepala mereka masih keras dan tak mau minta maaf, kita sikat mereka!”
Salah
seorang lagi kemudian mengangkat tangan ke atas, memberi isyarat supaya dirinya
bisa diberikan waktu untuk berbicara. Hadirin baru sadar, mereka merasa tak
pernah mengenal pemuda yang sekarang sudah berdiri dari tempat duduknya. Ia jelas
bukan anggota Banser, ia bukan NU.
“Maaf
sebelumnya, saya hanya mau nanya. Bukankah sebaiknya kita menyelesaikan masalah
ini dengan baik-baik dan tidak dengan cara kekerasan?”
Forum
hening, merasa geli dengan omongannya yang ngawur.
“Maksud
saya, Banser ini kan ormas, FPI juga ormas, apa tidak sebaiknya masalah ini
diselesaikan dengan cara-cara yang beradab seperti musyawarah, misalnya?”
“Tidak,
mereka sudah keterlaluan!” Jawab Aceng cepat.
“Memang
mereka salah apa sebenarnya?”
“Lah,
mereka sudah menghina Banser, mereka menghina NU!”
“Saya rasa
itu bukan sebuah penghinaan, itu hanya bentuk dari sebuah kritik. Dalam iklim
demokrasi, sebuah kritik tentu merupakan hal yang wajar adanya, ada pro dan
kontra, ada setuju dan tidak setuju, ada hijau dan putih, ada NU dan ada FPI.”
“Setan, jaga
mulutmu!”
“Memang
seperti itu, kan?”
“Mereka itu
islam garis keras, anti Pancasila, pro Khilafah. Mau bikin Indonesia ancur!”
“Memang
kenapa kalau mereka pro Khilafah? Tidak salah kan kalau mereka berpendapat
bahwa khilafah adalah sebuah sistem syariah sempurna yang bisa membawa
Indonesia lebih cepat maju, terlepas itu benar atau tidak. Toh sekali lagi,
kita hidup di Negara demokrasi. Semua orang berhak berpendapat dan
menyatakannya. Jangan terlalu phobia berlebihan, lagi pula lebih banyak orang
yang pro Pancasila daripada Khilafah, dan buktinya sampai sekarang mereka gak
bisa tuh bikin Indonesia jadi negeri khilafah.”
“Dasar
tidak nasionalis! Mereka itu jelas-jelas mengancam kedaulatan Negara, mereka
harus diperangi, harus dibubarkan!!!” Emosi Aceng tambah mendidih.
“Yang jelas-jelas
mengancam kedaulatan Negara itu para koruptor, bukan FPI.” Sergahnya enteng.
“Diam
setan! Sekali lagi kau bicara aku…”
“Kenapa?
Memang kenapa? Di sebuah Negara demokrasi semua orang berhak bicara, kan? Berhak
berpendapat, kan?”
Aceng sebenarnya
berusaha menahan diri untuk tidak mengirimnya ke rumah sakit, tapi perkataan
terakhir orang itu benar-benar sebuah penghinaan laknat untuk dirinya yang
seorang sarjana agama.
“Makanya
baca buku!” Kata orang itu.
Komentar
Posting Komentar