Idang Menafsir Agama

Aku bingung. Semasa ini, pada masa ini maksudku, masa di mana aku hidup bersama orang-orang yang terbiasa menelan ludahnya sendiri, semua tampak berantakan. Semakin mereka berusaha untuk membenahinya malah semakin tak terbenahi. Terutama masalah agama dan beragama. Mengapa perihal agama dan beragama selalu seakan menjadi ajang untuk pamer kaum mana yang paling benar, kaum mana yang paling salah, kaum mana yang paling beriman, kaum mana yang paling kafir, kaum mana yang paling cerdas (meski menurutku yang paling cerdas tetap kaum Yahudi), kaum mana yang paling bodoh, dan kaum mana yang berhak masuk surga, serta kaum mana yang akan kekal di neraka.

Mengapa jadi sesulit ini? Dalam masa ini pun “agama” seakan tergelincir menjadi sebuah lembaga atau institusi yang rumit dengan hal AD/ART-nya. Aku teringat, dalam buku Penutur Agung Sang Batara Guru, ujar bijak dan bajik Sang Pencerah, dikatakan bahwa:

“Istilah agama adalah asli milik bangsa Nusantara yang diwariskan kepada bangsa Indonesia. Namun selama ini sebutan agama dipaksakan menjadi suatu pengertian yang merujuk pada istilah tertentu dalam bahasa bangsa lain seperti; religion, din, dll. Sehingga makna kata agama jadi kehilangan daya guna.”

Mungkin, sebab kita terjebak dalam pemaknaan agama sebagai lembaga atau institusi yang melulu ribet, jadilah manusia Indonesia (sebagian) mudah untuk memvonis “kaum itu adalah salah, mereka pantas mendapat neraka!” Padahal, dalam buku yang sama aku temukan kalau agama dan beragama bukanlah suatu hal yang sulit, sebaliknya malah sederhana sekali. Sangat-sangat sederhana. Dalam buku itu dikatakan kalau:

“Agama sesungguhnya adalah pelajaran dasar menempa diri untuk membentuk tata-krama serta kelembutan hati nurani agar seseorang memiliki budhi-pekerti terpuji berlaku sopan santun di dalam kehidupannya.”

Sederhana bukan? Jika kita sudah menemukan jati diri dan hakikat kita sebagai manusia, perihal agama dan beragama tak akan menjadi sesuatu yang sulit, yang hanya bisa dipahami oleh kaum-kaum bergamis yang teriak-teriak di atas podium kalau suatu kaum itu adalah kafir. Biarlah Gusti Allah, Tuhan yang menguasai kebenaran mutlak yang bertugas menjadi hakim merangkap algojo yang memberikan vonis dan hukuman.

Pada akhirnya, aku ingin menutup ini dengan pepatah Prabu Siliwangi dalam Pantun Bogor episode “Ronggeng Tujuh Kalasirna”, dikutip dari buku Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkitan Nusantara, karya E. Rokajat Asura, yang mengisahkan akan ada satu masa dimana manusia berusaha menjadi Tuhan dengan mengambil tugas untuk memvonis kaum itu salah dan kaum itu harus masuk surga.

Rawayan arinyana baris boga karep
sakabeh anu disarebut jelema di iyeu jagat
            mudu ngan nyembah hiji sesembahan
            dina hiji sesebutan basa hiji bangsa bae
           
            Padahal,
            eta panyembahan teh
            saenyana mah
            panyembahan sakabehan ti babaheula
            dina sesebutan sewang-sewang basa sorangan
            panyembahan mah eta keneh eta bae
            anu ngan beda wungkul sesebutan
            lantaran beda bangsa nu boga basa
            Tapi dasar anu eukeur karareder dina pikir
            nya arembung disina ngarti
            tapi rasa arinya bae pangbenerna…

            Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
            Anak keturunan mereka akan punya keinginan
            semua yang disebut manusia di jagat ini
            harus hanya menyembah satu sesembahan
            dalam sebutan bahasa satu bangsa saja
           
            Padahal, 
            penyembahan tersebut
            sesungguhnya
            sesembahan semua orang dari dulu kala
            dalam sebutan bahasa sendiri-sendiri
            yang disembah tetap itu-itu juga
            hanya beda cara menyebutnya saja
            karena berbeda bangsa yang memiliki bahasa
            Tapi dasar pikirannya sedang kacau
            tidak mau mengerti
            merasa diri sendiri yang paling benar

Petikan naskah Pantun Bogor episode “Ronggeng Tujuh Kalasirna”, dikutip dari buku Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkitan Nusantara, karya E. Rokajat Asura, Penerbit Imania, 2016.

“Dasar kafir! Menafsirkan agama seenaknya.” Mumad melempar puntung rokoknya tepat ke wajah Jang Idang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...