2017, Sampah Lempar Ke Sungai!



              Tahun ke tahun selalu sama, aku cuma bilang akan berubah. Tapi nyatanya tetap saja tahun ke tahun selalu sama. Kadang aku malu dengan janjiku sendiri kalau tahun ke tahun tak akan selalu sama. Tapi nyatanya tetap saja dari tahun ke tahun selalu sama. Tak tahu kenapa dari tahun ke tahun selalu sama, padahal sudah suah payah kuusahakan agar dari tahun ke tahun tak selalu sama. Tahun ini aku kembali mencoba untuk meresolusi diri, supaya dari tahun ke tahun tak sama. Dan, semoga tahun ke depan yang akan kujalani bukan tahun yang selalu sama. Ini saatnya membikin perhitungan dengan tahun 2017. Apa saja yang sudah kulakukan di tahun ini? Manfaatkah? Bergunakah? Apakah tahun ini selalu sama? Atau tahun ini tak sama? Coba, aku akan mengoreknya. Tapi, aku hanya akan memilih beberapa cerita saja , sementara sisanya sudah kubuang ke sungai.

            Cerita pertama: Di awal tahun, sekitar bulan februari aku ditawari oleh saudara Diki Ahmad untuk mengisi pos kosong di IKPM-Jabar sebagai perwakilan dari Kemaga-YK. Saat ia menawariku, posisinya masih sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di Kemaga-YK, Sang Surya Legawa 16, juga sebagai penulis dari buku yang berjudul Di bawah Renungan Masjid. Di awal ia menawariku, aku menolaknya. Aku bilang padanya untuk menawari orang lain dulu, jangan diriku. Ia menyerah. Seminggu setelahnya ia kembali datang padaku untuk memintanya lagi. Ia berkilah tak ada orang yang mau tinggal di Asrama Kujang. Kubilang padanya untuk sekali lagi menawarinya ke orang lain dulu. Ia menyerah lagi. Seminggu setelahnya, untuk ketiga kalinya ia datang menemuiku dan bilang padaku kalau tak ada orang lain yang mau. Lalu kubilang padanya, “beri aku seminggu!” dan ia bersedia. Lama kupikir baik-buruknya untuk menjadi seorang pengurus sebuah organisasi sekelas provinsi. Bukan apa-apa, asal kalian tahu aku bukanlah orang yang suka diperintah, dan kurang senang dibagi-bagi ke dalam kelas. Di sisi lain aku juga tak enak pada Sang Surya Legawa 16 itu, ia temanku yang baik, sangat baik. Di akhir pertimbangan, kuputuskan untuk mengisi pos kosong itu. Tak apalah iseng-iseng berhadiah, pikirku. Seminggu setelahnya lagi, ia memberiku formulir untuk kuisi. Aku memilih, memilih untuk mengambil tempat di SSK alias Sanggar Seni Kujang. Bulan maret, tepatnya di minggu terakhir, aku dan semua perwakilan dari setiap komisariat daerah resmi dilantik dan disumpah untuk selalu setia, dan menjadi bermanfaat, dan tak mencoreng nama baik IKPM-Jabar. Serta dituntut untuk selalu memajukannya, membesarkannya, dan memprioritaskannya. Begitulah birokrasi, selalu penuh dengan tuntutan.

            Cerita kedua: Aku sebagai salah satu staf SSK bersama teman yang lain merumuskan visi dan misi bagaimana SSK ke depan. Tentunya SSK ini harus menjadi wadah untuk seluruh warga Jawa Barat yang ada di Yogyakarta. Namanya wadah, ia harus memiliki kemampuan untuk bisa diisi oleh apapun, misal: kopi, teh, susu, jamu, dll. Begitu juga SSK. Permasalahan pertama, selama beberapa tahun ke belakang SSK hanya bisa menampung orang-orang yang ingin main angklung saja. Orang lama berdalih sebab tak ada orang yang bisa mengajar yang lain-lain. Padahal alat-alat sudah sangat lengkapnya di Asrama Kujang. Bagaimana dengan orang yang ingin bermain gamelan degung? Atau orang yang ingin main karinding? Atau orang yang ingin main suling, celempung, gong tiup, toleat, saluang, dan berbagai macam alat musik tradisional lainnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu aku mengusulkan agar kita, SSK harus banyak bersilaturahmi dengan sanggar-sanggar lainnya yang ada di Jogja. Aku bilang pada mereka kita bisa bersilaturahmi ke Sanggar Teater Eska, Sanggar Nun, Sanggar Pamong, Rimbun Budaya, Abu Jahal Foundation, dan sanggar-sanggar lainnya. Meski kita sanggar berbasis primordial, tapi jangan jadikan itu alasan untuk menutup diri dan berlaku ekslusif. Itulah masalah klasik selama ini, EKSKLUSIFITAS! Tapi dasar, tak tahu apa yang mereka makan sehari-hari untuk menyambung hidup, apa yang aku bilang dianggap sia-sia. Kata mereka, ‘tetua sanggar’ tak merestuinya. Bahkan yang paling gila aku dianggap berniat menghancurkan SSK. Sialan! Dan setelah itu semua, aku sudah malas berkumpul dengan orang-orang yang sok tahu, yang membikin SSK tak berkembang dan maju. Biar saja sansenku seperti itu, hanya sebuah grup angklung panggilan pentas. Bukan Sanggar! Jangan cepat-cepat menilaiku seperti orang yang sangat mengutuki sanggar ini. Tapi kalau kalian (anak-anak ‘sanggar’ yang membaca ini) tetap memutuskan aku adalah orang yang berbahaya dan tetap berpikir aku akan menghancurkan sanggar kalian, berhentilah bermimpi! Sanggar kalian tak ada apa-apanya untuk kuhancurkan!

            Cerita ketiga: Setelah percekcokan-percekcokan kecil dengan beberapa staf sanggar yang kebanyakan tak menyetujuiku, kuputuskan saja untuk membikin satu lingkaran di luar sanggar sebagai wadah berekspresi. Pada waktu itu, divisi budaya dan pariwisata akan mengeksekusi program kerja pertamanya dalam tajuk Nyaba Sagara. Perlu diketahui, ada beberapa anak sanggar yang menjadi anggota dari divisi budaya dan pariwisata. Singkat cerita, malam itu koordinator budaya dan pariwisata memanggilku untuk mengeluhkan sesuatu hal. “Kenapa tidak langsung ke ketuanya saja?” senyumku dalam hati. Mereka mengeluhkan tentang anak sanggar yang menjadi anggota dari divisi budaya dan pariwisata susah untuk diajak kerja, dan malah parahnya mereka lebih memprioritaskan sanggar. “Jangankan untuk diajak kerja, diajak komunikasi saja susah!” keluh sang koordinator. Setelah mereka selesai berkeluh kesah, aku akhirnya menanggapi. Aku menawarkan satu solusi: bagaimana kalau aku membikin satu lingkaran untuk memecah belah konsentrasi sanggar, agar tak melulu dikatai eksklusif dan tak melulu angklung saja. Aku bilang pada mereka kalau aku akan membawa anak-anak Jawa Barat yang menjadi pelaku kesenian ‘di luar’, dalam hal ini anak-anak pegiat karinding. Kujelaskan a, b, c, d-nya, dan saranku dikatakan menarik untuk dicoba. Ketua IKPM Jabar menilai ini sebuah terobosan baru yang bisa merevolusi SSK. “Harusnya maneh yang jadi ketua!” ia berkelakar. Berapa hari berselang, tepatnya mei tanggal 19 aku berkumpul di pendopo Asrama Kujang bersama dengan beberapa pengurus (termasuk ketua IKPM Jabar) dan mereka para pegiat karinding. Sebelum mengobrol panjang lebar terkait lingkaran ini, kami tentunya berkenalan dulu. Aku kaget, ternyata yang datang tak hanya pegiat karinding yang asalnya dari Jawa Barat, beberapa di antaranya ada yang dari Madura, Semarang, Magelang, dan Purwokerto. Lihatlah! Memang sudah hakikatnya, kesenian itu tak bisa ditaklukan hukum manusia. Apalagi hanya sekedar hukum yang dibikin dengan serampangan oleh yang disebut ‘tetua-tetua sanggar.’ Pertemuan ini diakhiri dengan ngaguar rasa, yaitu bermain karinding bersama. Betapa indahnya sore hari itu. Setelah pertemuan perdana itu kami rutin latihan di setiap jum’at sore. Sekarang, dengan birokrasi yang ruwet serta caci maki para ‘tetua sanggar’ lingkaran karinding ini dianggap ‘bagian’ dari SSK. Tapi kami tetap punya nama sendiri dan tak ikut-ikutan menyematkan sansenku. NGAKAR, #NgakarNgakeurNgakur.

            Cerita keempat: Pada rapat staf SSK saat itu, selain aku menyarankan agar membuka pintu selebar-lebarnya untuk sanggar atau komunitas lain, aku juga menyarankan untuk kembali merilis budaya Teater di Kujang. Mang Demang pernah menceritakan padaku kalau dulu sekitaran tahun 2002-2004 SSK selalu punya agenda produksi. SSK juga sempat meraih peringkat kedua dalam lomba teater di Bandung, tepatnya di Gedung Rumentang Siang. Itulah alasan kenapa aku begitu ngebet untuk memulainya lagi. Jujur saja aku tak paham makna filosofis dari dunia perteateran. Namun, sejak aku pernah beberapa bulan mengikuti dan menceburkan diri di Teater Eska, minatku semakin dalam untuk menguliknya. Aku katakan pada mereka jika memerlukan orang untuk melatih anak-anak nanti bisa kuajak teman-temanku dari Eska. Tapi dasar! Sekali lagi aku tak tahu apa yang mereka makan sehari-hari untuk menyambung hidup. Dalam kumpulan singkat untuk memutuskan apakah Teater dibolehkan atau tidak (saat itu juga berbarengan apakah lingkaran karinding diaanggap atau tidak, yang padahal aku tak peduli mau dianggap atau tidak), saat itu sebagian ‘anggota sanggar’ dan ‘tetua sanggar’ menilainya tak akan berhasil. Bahkan secara terang-terangan para ‘tetua sanggar’ bilang kalau mereka ragu padaku. Mereka ragu dengan langkah yang kuambil. Singkatnya ‘tetua sanggar’ tak merestui. Kembali aku melihat peran mereka sangat besar dalam membikin SSK tak berkembang dan tak maju. Sementara pak ketua sanggar? Silakan kalian saja yang menilainya!

            Cerita kelima: Jabar Festival sudah diwacanakan oleh sebagian pengurus di IKPM-Jabar. Bahkan beberapa di antara mereka sangat serius untuk merealisasikannya. Tak hanya mengorbankan tenaga, ia mengorbankan duit bulanan dan gaji mc-nya untuk menalangi pembikinan proposal kegiatan. Ia dengan satu temannya berangkat ke Bandung untuk memasukan proposal ke pemprov dan dinas-dinas. Tentunya sekali lagi mereka mengeluarkan duit pribadinya demi kesuksesan JabarFest. Mereka mati-matian melakukan itu saat para pengurus yang lain bermalas-malasan bermain game, dan bersantai dengan komunitasnya di kampusnya masing-masing. Hidup memang selucu itu. Aku (bisa dikatakan) adalah orang yang selalu mendukung si Azam dan si Heru. Meski aku tak ikut ke Bandung atau menyumbangkan duit jajanku untuk membikin proposal, aku oleh mereka dipercaya untuk menjadi koordinator acara, pementasan teater. Mari mundur sebentar! Sebelum wacana JabarFest ini mencuat, hanya beberapa orang yang diajak mengobrol untuk mewacanakannya, aku termasuk orang yang diajak mengobrol itu. “Di sini tempatku masuk” bentakku dalam hati. Aku mengusulkan agar teater bisa masuk ke dalam rangkain acara Jabar Festival ini. Perihal bagaimana mengeksekusi hal produksi dan segala macamnya, biar aku yang mengurusnya. Mereka menceramahiku panjang lebar sebelum akhirnya menyetujui dan memasukan teater ke dalam rangkaian acara. Dan dengan si Opay teman dari Majalengka yang juga tinggal di asrama aku mulai membikin perhitungan. Sekarang kalian tinggal menyiapkan diri untuk menonton pementasannya yang tak akan lama lagi.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...