Ngrancahan, di Atas Kertas.
11-07-2017. Hari pertama berangkat ke Posko KKN.
Hari selasa tanggal 11 Juli 2017
kami berangkat dari Multi Purpose (yang sekarang namanya sudah diganti menjadi
gedung Prof. Amin Abdullah) UIN Sunan Kalijaga jam 08.00. Sejam kemudian kami
sampai di rumah Pak Dukuh. Kami istirahat sekitar tiga puluh menit sebelum
pergi ke Kecamatan untuk upacara penyambutan. Perlu diketahui kelompok kami
baru hadir tujuh orang. Aku, Eirfan, Fitri, Atika, Risda, Febby, dan Puji.
Sementara Ike dan Isfi belum hadir. Ike mengikuti wawancara untuk seleksi Duta
Bahasa di Balai Bahasa Yogyakarta. Di sisi lain, Isfi pagi-pagi terserang
meriang dan harus ke puskesmas. Di perjalanan ke Kecamatan, Puji yang dibonceng
Febby jatuh dari motor. Ini dikarenakan Febby ‘tekor’ lalu menghantam pasir di
pinggir jalan. Untung saja luka yang diderita masih luka ringan. Mereka masih
sanggup melanjutkan perjalanan. Kami tiba di Kecamatan. Mahasiswa lain sudah
berkumpul dan acara pun sudah dimulai.
Di depan para Mahasiswa Pak Camat
menjelaskan kondisi warganya. Hal-hal seperti sosial, ekonomi, dan budaya
menjadi materi wajib. Selesai di Kecamatan, kami diminta oleh ibu Aida untuk
berkumpul di Balai Desa Pengkok. Sebanyak 9 kelompok hadir. Di sini Pak Kades
mengambil alih. Ia juga menjelaskan keadaan warga di desanya. Penjelasan dari
Pak Kades selesai. Atika meminta izin untuk pulang ke rumah. Ia merasa masih
belum fit, karena tanggal 09 Juli 2017 dirinya juga jatuh dari motor. Sebelumnya ia
sudah meminta izin ke DPL. Selesai dari balai desa kami kembali ke posko KKN
yang tak lain rumah Pak Dukuh sendiri. Kami bersama ibu Aida selaku DPL
mengobrol di ruang tamu. Hal-hal seperti biaya untuk pemondokan, air, dan
listrik sudah kami sepakati sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Cepat
sembuh Atika, kamu bendaharanya! Haha...
12-07-2017. 15.52 WIB. Hari
ke - dua di Posko.
Eirfan Lueba teman sekamarku
membangunkanku pukul 05.00. Aku masih mengantuk dan masih berselimut dingin.
Jam enam kurang lima belas menit aku dibangunkan oleh rasa malu karena belum
shalat subuh. Aku ke kamar mandi berwudhu. Di kamar aku menunaikan shalat yang
seperti biasa selesai dengan cepat. Aku kembali berselimut agar suhu tubuh
tetap stabil.
Kira-kira jam setengah delapan Puji
melongo dari pintu membangunkanku, ia memberikan hp-nya
yang sudah diloudspeaker
sembari berkata “Ini dari Ike!” Ike menanyakan arah ke posko. Aku mencoba
memberikan gambaran. Sesuai prediksi,
itu semua sia-sia. “Ya sudah aku kesana, kamu tunggu dekat Koramil!” Aku
bangkit mengambil sweater, teman setia kala cuaca seperti ini. Menimbang
medan yang akan dilalui cukup terjal untuk seorang perempuan pembawa motor, aku
memutuskan berangkat dengan Eirfan.
Lima belas menit kemudian aku
melewati seorang perempuan, “Itu Ike!” aku baru sadar. Aku memutar motor untuk
menghampirinya. Aku menegurnya, dan kami bersalaman. Setelah berbasa-basi
sedikit, langsung kami meluncur menuju posko. Formasi terakhir aku membonceng
Ike, sedangkan Eirfan berboncengan dengan madzhabnya. Di perjalanan kami
mengobrolkan hal-hal yang kami lihat. Mulai dari jalanan, masih jauh atau
tidak, dan hal-hal semacam itu. Aku menanyakan bagaimana wawancara yang ia
jalani kemarin, dan bla... bla... bla... “Nah ini mesjidnya, ini MTs, ini MIN,
ini PAUD dan ini rumah pak Dukuh.” Aku mengakhiri pembicaraan sambil memarkir
motor. Ike berkenalan dengan Simbah (Ibu dari bu Dukuh) sebelum masuk. Kemudian
aku mengantarnya ke Pak Dukuh dan Bu Dukuh. Setelah pamit pada mereka kami
masuk. Teman-teman dan makanan menyambut kami di dalam. Ike berkenalan, dan
keluarga kami bertambah karenanya. Kami tak ingin mengabaikan makanan yang dari
tadi asik menatap. Kami makan bersama, dan sungguh sebuah nikmat yang tak
ternilai.
Setelah sarapan kami semua tidak
langsung beranjak dari tempat kami duduk. Kami menjalankan satu ritual. Yaitu:
setelah makan, sebelum sepuluh menit tidak boleh kemana-mana atau beraktivitas.
“Biarkan nasinya turun dulu!” kataku pada mereka. Tak tahu teori itu benar atau
tidak, yang pasti kami selalu menjalankannya setiap hari. Dua jam berlalu,
teman-temanku tidur kembali. Kata mereka tidur adalah kegiatan terbaik. Sebab,
saat tidur kita tidak mungkin berbuat buruk pada orang lain. Sungguh alasan
yang sangat masuk akal. Sementara di sisi lain, Ike masih terlihat bersemangat.
Tak ada indikasi dirinya ingin bergabung melakukan aktivitas mulia bersama
mereka. Aku mengajaknya keluar untuk berjalan-jalan melihat keadaan dusun yang
kami tempati. Tempat pertama, kami ke posko KKN tetangga. Rumahnya tak jauh
dari posko kami, hanya lima puluh meter. Ia aku kenalkan pada teman-teman
kelompok di rumah itu. Kami mengobrol sebentar, lalu pamit untuk melanjutkan
perjalanan.
Kami kembali ke jalan satu-satunya,
akses di dusun ini. Jalanan dusun sudah beraspal dan bisa dikatakan layak untuk
sekelas dusun. Samping kanan dan kiri jalan tidak terlalu banyak rumah. Pohon
kelapa, sawah, kebun jagung, pohon pisang, jati, dan macam-macam lainnya sangat
setia mendampingi. Di depan kami, di kebun pinggir jalan, seorang kakek tua
sedang mengambil daun kelapa. Beliau menyapa dan kami mendekat menghampirinya.
“Itu pak tua kemarin yang jadi imam di mesjid” aku membatin. Ia langsung
mengenali dan menyapaku. Aku kaget saat ia memanggilku “Mas Malik!” dengan umur
setua itu, ingatannya masih sangat kuat. Muhammad Shadiqin, itu namanya.
Seorang kakek tua, imam masjid Al Makmur dusun Ngrancahan. Umurnya kira-kira
70-80 tahun. Ia sendiri saat mengobrol dengan kami. Ike bertanya untuk apa pak
Shadiqin mengambil daun kelapa kering itu, ia menjawab “Untuk kayu bakar” dalam
bahasa Jawa halus. Tak lama ia mengajak kami kembali ke pinggir jalan. Di sini,
ia mempersiapkan bambu panjang yang di ujungnya dipasang arit. Ia
bercerita alat yang sedang dikerjakannya itu untuk mengambil buah kelapa. Aku
dan Ike saling melempar pandang, saling bertanya apa benar alat itu kuat untuk
menurunkan kelapa yang cukup tinggi. Semua yang kami pikirkan salah besar. Tak
butuh waktu lama pak Shadiqin berhasil mengambil kelapa dengan alat yang kami
sebut ‘konyol’.
Enam buah kelapa jatuh dengan
selamat sampai di bawah. Tanpa instruksi aku langsung mengumpulkan mereka
menjadi satu kelompok. Dengan sigap pak Shadiqin menaikan kelapa-kelapa tadi ke
roda yang sedari tadi menunggu di pinggir jalan. Ia pulang, dan kami berjalan
bersamanya. Aku bilang padanya ingin mencoba mendorong roda kelapa itu sampai
ke rumahnya. Sedang kami berjalan, ia becerita banyak hal tentang dusun ini.
Salah satunya, saat kami melewati MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) di dusun
ini, pak Shadiqin berkata bahwa yang mendirikan sekolah itu adalah dirinya.
Setelah mendengar banyak cerita darinya aku bisa menyimpulkan bahwa ia adalah
tokoh yang sangat dihormati di masyarakat. Berkat jasa-jasanya di masa lalu
untuk dusun ini.
Kami bertiga berbelok ke jalan
menuju masjid. Ternyata rumahnya hampir bisa dikatakan menempel dengan masjid.
Ia membuka gerbang sederhana dari bambu, jalan menuju ke dapur. Di dapur kami
disambut nenek yang juga sudah tua. Saat itu aku melihat cinta sejati di antara
kakek dan nenek tua itu. Nenek asik memasak sukun di dapur. Kami mengobrol
dengannya sebentar, karena selang tak berapa lama pak Shadiqin sudah berada di
bagian depan rumah. Membuka gerbang dan menyilakan kami untuk masuk. Aku dan
Ike mengikuti instruksinya. Di dalam rumah, pak Shadiqin
menyiapkan kue-kue di meja.
Pak Shadiqin membuka pembicaraan. Ia
menanyakan asal Ike dari mana, sekolah di mana,
dan selebihnya aku tak mengerti karena mereka berdua berbicara dalam bahasa
Jawa halus. Ia menceritakan bahwa dirinya memiliki tujuh orang anak. Semua
sudah tidak tinggal serumah dengannya. Lagi dan lagi aku kehabisan akal untuk
memahami percakapan mereka. Di sela-sela percakapan mereka, aku menyela:
“Pak kalau di mesjid ini ada
pengurus mesjidnya?”
“Ada mas.” Dengan aksen Jawa berat.
“Ketuanya siapa pak?”
“Kulo mas!”
Betapa luar biasa pak Shadiqin ini.
Ia tokoh masyarakat dengan segala jasanya yang luar biasa. Ia juga imam masjid,
pemimpin umat sekaligus ketua pengurus masjid. Sungguh kau tak pernah lelah
berbuat kebaikan! Aku ingin sepertimu, menjadi lelaki sederhana nan bersahaja.
16-07-2017. 23.07 WIB. Satu hari sebelum KKN.
Sudah enam hari aku tinggal di rumah
ini, di rumah Pak Dukuh Tukirman beserta istri, dan kedua anaknya Nur dan
Alfin. Meskipun secara teknis kami serumah, tapi realita di lapangan berbeda.
Kami tinggal secara terpisah. Pak Dukuh bersama keluarga tinggal di bangunan
samping rumah utama. Bangunan ini dihubungkan oleh pintu menuju ruang tengah
dan dapur. Luasnya terbilang cukup untuk ditempati oleh tiga orang. Ya, jumlah
keluarga pak Dukuh berkurang karena tadi siang si bungsu Alfin pergi untuk
mondok dan berpisah dari orang-orang yang ia kasihi. Alfin diantar oleh
keluarga dan juga tetangga yang anaknya juga mondok di tempat yang sama
dengannya. Air muka pak Dukuh dan bu Dukuh nampak sangat sedih, tapi kesedihan
itu ditunjukkan dengan cara yang berbeda.
Hari ini di posko hanya ada empat
orang, aku, Ike, Puji, dan Eirfan. Perlu diketahui Eirfan ini merupakan warga
Negara Patani Darussallam, dan ia sangat enggan disebut sebagai warga Negara
Thailand. Aku tak akan menceritakan kenapa. Biarlah itu menjadi urusannya.
Beberapa hari ke belakang aku merasa ada hal yang aneh. Sangat aneh ketika aku
menghadapi perempuan ini. Ike, ya Ike Widiya Ulfah. Enam hari yang lalu aku
kaget ketika dirinya meminta untuk bertemu dan ingin mendengar informasi
terkait teknis KKN di lapangan. Sebab, selama ini ia hanya bisa memantau dari
grup WhatsApp saja. Dapat dimaklumi karena ia sedang menjalani seleksi untuk
Duta Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta.
Malam itu, enam hari yang lalu
sekitar jam setengah delapan malam Ike datang ke Asrama Kujang, tempat aku
tinggal. Aku menyambutnya, dan aku meminta ia memarkir motornya di basement.
Sebelum kami masuk, di depan gerbang ia sempat berujar “Ini asrama? Kok beda
ya? Unik!” Aku membalasnya dengan senyum bangga. Di ruang tamu kami hanya
berdua. Tidak sulit untuk mencairkan suasana obrolan, karena Ike yang satu ini
sangat cepat beradaptasi dan hangat ketika berhadapan dengan orang baru. “Mungkin
karena ia duta bahasa” aku membatin. Ia mulai bertanya terkait teknis dan
hal-hal yang menurutnya penting diketahui. Dengan mudah kututurkan informasi
itu padanya. Kulihat ia sangat cepat dalam memahami sesuatu, dengan sekali
penjelasan saja ia sudah menguasai semua informasi yang kuberikan. Itu terlihat
dari caranya menyikapi pembicaraan kami. Malam itu aku merasa tertarik dan
mulai memerhatikannya. Ike berbicara dengan tutur kata yang lugas nan menawan.
Aku sangat menikmati mengobrol dengannya. Sampai aku berdo’a agar jam di
dinding yang sedari tadi kulihat melambatkan lajunya dan memberiku kesempatan
untuk lebih lama bersamanya. Namun, memang manusia tidak pernah bisa
berkompromi dengan waktu. Ike akhirnya pamit untuk pulang.
Malam ini ketika aku menulis, aku
telah menghabiskan banyak waktu bersamanya. Di mulai saat ia datang sabtu sore
ke posko, kemudian malam harinya kami makan malam serta dilanjut mengerjakan
RPK (Rancangan Program Kerja) bersama. Pagi tadi ia membangunkanku untuk
sarapan, siang hari kami mengobrol, selepas magrib kami memasak sekaligus makan
malam. Ada perasaan yang tidak biasa ketika aku melihatnya tersenyum. Sampai
ketika aku sedang menulis ini, aku belum tahu perasaan apa yang sedang
kurasakan padanya. Satu hal yang pasti, aku pikir diriku mulai menyukainya. Ya,
aku menyukai Ike yang satu ini.
Aku punya puisi untukmu:
Aku, dan...
Ike!
17-07-2017. 22.44 WIB. Hari Pertama KKN.
Benar hari ini adalah hari pertama
KKN menurut jadwal administrasi di kalender akademik kampus. Tidak ada yang
berbeda hari ini. Aku tetap bangun kesiangan. Saat aku bangun jam delapan
lebih, Fitri, sekertaris kelompok menanyakan kapan kita mencetak RPK yang sudah
disusun karena sekarang sudah waktunya. “Maksimal jam dua ke bu Aida buat tanda
tangan. Dan jam empat untuk mengumpulkannya ke LP2M!” Ia mengingatkan.
Setelah dari kamar mandi, aku
menanyakan kabar Febby dan Risda. “Belum! Febby sama Risda dari kota berangkat
jam 8” Puji memberi keterangan. Dua jam berlalu. Terdengar di luar suara motor
di tempat parkir. Tak salah lagi itu mereka. Aku langsung meminta Febby untuk
menyiapkan laptopnya. Berhubung printer dan laptop ini sudah saling kenal sejak
lama, dan berada dibawah asuhan orang yang sama. Tanpa basa-basi Febby bersiap.
Sambil mengobrol santai kami mencetak RPK. Waktu yang diperlukan cukup lama
untuk mencetak dokumen ini. Tebalnya lumayan, 90 halaman. Cukup tebal untuk
sebuah laporan program kerja yang disusun dadakan. Ya, begitulah budaya
sebagian besar pendidikan bangsa ini, semua serba dadakan seperti tahu bulat.
Sialnya kami sempat tersendat karena listrik mati. Baru sekitar jam 12 RPKnya
selesai dicetak. Aku dan Atika bersiap pergi ke kota untuk mengumpulkan RPK
dadakan ini. Namun, sebelumnya kami harus ke Kantor Kepala Desa dan menemui ibu
Aida untuk meminta tanda tangan mereka.
Tak butuh waktu lama, tiga puluh
menit berlalu dan kami sudah sampai di Kota Jogja. Kami mampir terlebih dahulu
ke tempat penjilidan untuk menjilid RPK yang sudah ditandatangani. Lima belas
menit berlalu dan RPK selesai dijilid. Aku menelpon ibu Aida, ia bilang
“Langsung ke ruangan saya saja Malik!” Setiba di ruangannya kami disambut
tangisan anak berumur tiga tahun, ya anak ibu Aida. Ibu Aida adalah seorang
janda muda. Ia baru saja ditinggal mati lantaran suaminya menderita penyakit
yang sudah kronis. Anaknya merengek meminta gadget di tangan ibu Aida
sambil berteriak “Ayah! Ayah!” Ibu Aida hanya diam, air mukanya seakan-akan
mengatakan “Andai saja suamiku masih hidup.” Namun, ia tidak terlarut dalam
suasana ini. Ia mengalihkan kesedihannya pada dokumen yang kami bawa. Ibu Aida
berbasa-basi menanyakan perihal pengerjaan dokumen sambil menandatanganinya.
Selesai ditandatangani, dokumen kami bawa ke LP2M. Tak jauh jaraknya, hanya
terhalang satu gedung. Kami sampai, dan dokumen pun sudah dikumpulkan. Setelah
semuanya selesai, kami pergi mencari makan dan membeli kuota. Perut dan gadget
harus sama-sama diisi jika ingin tetap eksis. Urusan di kota selesai. Kami
langsung berangkat kembali ke posko di Gunungkidul.
Perjalanan kami direstui oleh alam.
Jalanan yang biasanya macet kali ini benar-benar lenggang. Sekitar jam 14.00
kami sampai ke posko dengan selamat. Di posko, anak-anak sudah bersiap dengan
kue dan agar-agar untuk nanti malam. Sosialisasi program kerja dan perkenalan
dengan tokoh di dusun Ngrancahan, itu agenda kami. Selagi anak-anak perempuan
sedang mengurusi kue-kue dan agar-agar, aku dan Kholil dari kelompok sebelah
membantu pak Dukuh menurunkan pasir dari mobil. Pak Dukuh mengomentari “Memang
kalo dikerjakan mbareng-bareng semua terasa ringan mas!” Kalimat pak Dukuh memang
bukan kalimat yang klise, itu memang benar-benar kami rasakan.
Ashar menjemput. Aku sembahyang
sebelum pergi ke posko sebelah untuk berkoordinasi perihal susunan acara untuk
nanti malam. Sudah diputuskan, setelah mengobrol agak lama aku ditetapkan untuk
memberikan sambutan mewakili teman-teman, dan Aweng ketua kelompok sebelah
menjadi pemapar program kerja kami. Penat sekali kepalaku sore ini, kuputuskan
untuk mandi saja. Aku bersiap berangkat ke masjid untuk shalat magrib
berjamaah. Pulang dari masjid aku, Risda, dan Isfi memasak. Karena senin
menjadi jadwal piket kami. Kami bertiga sepakat untuk memasak omelette dan
sarden. Masakan sudah siap, dan seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah.
Makan malam bersama. Hari ini minus Ike yang sedang berada di kota. Setelah
isya kami berangkat ke mesjid, dimana acara akan dilaksanakan.
Jam 20.00 Rexy selaku pembawa acara
memecah kebisuan. Setelah mengucapkan kata-kata pembuka, ia menyerahkan waktu
untuk sambutan padaku. Aku mengawali sambutan dengan memanjatkan puja-puji
kepada Allah dan nabinya Muhammad. Aku teruskan dengan mengucapkan terima kasih
kepada para tokoh yang sudah hadir, dilanjutkan dengan permohonan izin agar
selama kami menjalankan KKN bisa didukung penuh oleh warga dusun. Sambutan aku
tutup. Pembawa acara mengambil alih kembali. Acara dilanjutkan pada sosialisasi
program kerja pada para hadirin. Satu per satu program kerja dipaparkan.
Sekitar sepuluh menit, Rexy kembali mengambil alih. Kali ini ia mempersilakan
pak Dukuh untuk memberikan sambutan dan diteruskan dengan tanggapan para
hadirin atas program kerja kami yang telah dipaparkan. Segala puji bagi Allah,
Tuhan yang Maha menguasai segala macam pikiran. Para tokoh masyarakat yang
hadir mendukung program kerja yang kami rancang. Acara berakhir. Tak lupa kami
berfoto bersama untuk kepentingan dokumentasi. Sebab, di zaman sekarang ini ada
istilah “NO PICT HOAX!”
18-07-2017. 00.00 WIB. Hari ke - dua KKN.
Hari ini hari kedua, dan aku bahkan
tidak merasakan perubahan yang signifikan. Kembali bangun pagi kesiangan. Itu
pun aku dibangunkan oleh teman-teman untuk sarapan bersama. Teman-teman di
kelompokku juga tak banyak berubah. Setelah sarapan selesai mereka langsung
membentuk formasi untuk menonton drama Korea di kamar, kemudian tidur berjama’ah
di depan laptop yang masih menyala. Aku memikirkan tentang bagaimana agar
hari-hari kami bisa produktif. Namun, semua itu sia-sia belaka. Kala
teman-temanku beraktivitas di kamar, di ruang tengah aku menyalin
tulisan-tulisanku di laptop. Eirfan bergabung ke ruang tengah. Ia juga
menyalakan laptopnya. Aku mengamatinya. Setelah aku amati ia sedang mengerjakan
materi untuk program kerja individunya. Betapa rajinnya orang ini!
Sejam berlalu, aku harus mengalihkan
perhatian mataku dari layar laptop ini. Aku masuk ke kamar mengambil RPK yang
kemarin aku dan Atika cetak. Aku mulai membacanya, mulai dari program kerja
kelompok, dilanjut program kerja individu kami. Aku menandai bagian-bagian yang
salah, mulai dari penulisan, typo, penempatan tanda baca, bahkan masih ada yang
tidak disunting dan masih mengikuti format RPK sebelumnya alias copy paste. RPK
ini benar-benar hancur. Namun, ya sudahlah! Toh kampus juga menginginkan hal
seperti itu. Lelah membaca RPK, aku mengalihkan perhatian kembali. Aku menonton
film The Godfather III di laptop. 13.45 film selesai. Aku mengambil air wudhu
untuk shalat dzuhur.
Aku kembali ke ruang tengah, dan
ternyata Alfin masih menangis. Ia sudah menangis hampir dua jam. Terdengar ia
merengek ke bu dukuh bahwa ia tidak mau mondok. Ia tak betah, dan tak bisa
hidup di lingkungan pondok. Ibunya sangat-sangat sedih mendengar anaknya
tersiksa seperti itu. Ia hanya bilang “Cobalah dulu satu tahun! Ngko nek koe
pindah ngisin ngisine bapakmu.” Si bungsu malah menangis menjadi-jadi. Ibunya
menyerah untuk menasehati si bungsu, sekarang pak dukuh yang masuk ke kamar
untuk mencoba membujuknya agar mau mondok. Aku tak tahan mendengar itu semua.
Aku memutuskan untuk pindah dari ruang tengah ke ruang tamu. Baru saja aku
duduk di kursi, ibu dukuh datang dengan muka sangat kusut. Aku mencoba
bertanya:
“Alfin kenapa bu?”
“Ndak mau mondok mas. Padahal dia sendiri yang minta mondok. Aku ndak
maksa!”
Aku tak berani melanjutkan bertanya. Muka bu dukuh sudah benar-benar
sampai di titik terkusut. Sore berlalu dengan cepat. Senja kembali ke pelukan
malam. Teman-teman yang sudah waktunya mengajar di TPA sudah berangkat. Dari
kelompok kami Eirfan serta Puji. Sementara sisanya berada di masjid mengajar
anak-anak. Satu jam berlalu, waktu isya sudah masuk. Aweng ketua kelompok
tetangga mengumandangkan adzan. Kami shalat isya berjama’ah dipimpin pak
Shadiqin. Kami pulang untuk makan malam. Makan malam selesai. Kami hanya
mengobrol hal-hal ringan sambil tertawa-tawa. Aku menanyakan tanggal lahir pada
mereka semua. Risda 20 November 1996, Puji 26 Oktober 1997, Atika 17 Desember
1996, Isfi 23 Juni 1996, Febby 28 Februari 1996, dan Fitri 28 Maret 1994.
Sementara tanggal lahir Eirfan tidak terungkap, karena ia sedang berada di
rumah tetangga.
Malam semakin larut, di ruang tengah hanya tersisa aku, Isfi, Febby, dan
Risda. Aku berinisiatif untuk menceritakan bahwa aku memang benar-benar
brengsek. Mereka mengomentari, dan menyarankan diriku agar segera bertaubat.
Satu per satu tanpa perintah siapapun, mereka mulai menceritakan pengalaman
dirinya masing-masing. Ada hal yang menarik ketika Risda menceritakan kalau di
Fakultasnya ada dosen yang naksir padanya. Sampai-sampai dia mengirim pesan
WhatsApp, menawarkan bantuannya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dosen
sialan itu adalah dosen di Jurusanku. Aku dan Risda memang satu Fakultas. Dosen
ini sudah berumur kepala empat. Mendengar cerita Risda tentang bagaimana
kelakuan dosenku padanya, aku benar-benar tak menyangka. Bikin malu Jurusan
saja kau ini Pak!
19-07-2017. 22.44 WIB. Hari ke - tiga KKN.
Tadi pagi aku bangun lebih siang
dari biasanya. Jam 9.00 aku baru bangun. Seperti biasa aku ke kamar mandi untuk
mencuci muka. Selesai. Aku melongo ke kamar para gadis untuk menanyakan apakah
mereka sudah sarapan atau belum. “Belum! Nungguin kamu lama da” Isfi menyolot.
Isfi, seperti diriku ia juga orang Sunda, aku Garut dan ia Bandung. Mari kita
tinggalkan Isfi. Selesai sarapan, tanpa komando kami berkumpul di ruang tengah.
Para gadis bercerita padaku bahwa kelompok tetangga tadi pagi naik ke Gunung
Ireng. Mereka memprotes karena gara-gara aku tidak bisa bangun pagi rencana
yang sudah kami matangkan selama seminggu tak pernah terwujud. Aku hanya
mencari-cari alasan sembari cengengesan. Aku berkilah bahwa aku baru mau naik
gunung Ireng itu kalau anggota kelompok kita sudah lengkap. Dan memang hari ini
Ike masih belum juga datang. Padahal seingatku ia hanya meminta izin dua hari
padaku untuk acara penobatan duta bahasa hari senin dan selasa. Sudahlah jangan
mengurusi hidup orang lain. Untuk membalas dendam, mereka berkumpul di ruang
tengah nonton bareng drama Korea. “Ya Tuhan! Cobaan apa lagi ini?” Aku menghela
nafas. Namun, karena itulah satu-satunya hiburan yang ada saat ini
ujung-ujungnya aku juga menontonnya. Aku heran dengan diriku. Aku rasa aku
mulai terserang virus Korea terlaknat ini, dan aku bisa menikmati ceritanya.
Di tengah-tengah nonton bareng, aku
mengusulkan pada mereka bagaimana kalau kami semua pergi ke sungai yang ada di
dusun ini. Tak disangka respon mereka atas usulanku bagus. Namun, aku bilang
pada mereka kalau aku tidak tahu tempatnya. Kembali mereka menghujaniku dengan
kritik yang membangun. Eirfan akhirnya menjadi penyelesai masalah. Aku
memintanya untuk menanyakan ke kelompok tetangga arah menuju sungai. Lima menit
berlalu. Eirfan kembali dengan muka sumringah. Ia bilang “Sebelum perempatan
menuju ke gunung Ireng kita nanti belok ke kanan!” dengan aksen Melayu yang
kental. Itu tanda kami harus bersiap. Aku sudah keluar terlebih dahulu untuk
memanaskan motor mereka. Aku membonceng Isfi, Risda dengan Puji, Atika bersama
Febby, dan seperti biasa iman seorang Eirfan Lueba masih sangat kuat. Kami
berangkat pelan sekali. Karena memang tempatnya tidak jauh. Kami mengikuti
instruksi dari kelompok tetangga untuk belok kanan sebelum perempatan ke
gunung, dan aku menghela nafas. Jalan yang kami lalui cukup terjal dan curam.
Batas pinggir dari jalan yang kami lalui adalah jurang-jurang. Dengan restu
alam semesta kami selamat sampai di sungai. Motor sudah tertata rapi di pinggir
sungai, dan kami mulai menyungai. Sungguh sejuk sekali suasana di sungai ini.
Tak terlalu banyak orang. Hanya ada dua ibu yang sedang mencuci pakaian, satu
anak kecil yang sedang berenang, dan pak tua yang duduk sambil merokok menatap
aliran sungai. Aku menghampiri pak tua.
“Lagi apa pak di sini?”
“Oh biasa, itu mas, saya habis nyari
rumput.”
“Buat ternak pak?”
“Nggeh mas, kambing. Jenengan KKN?”
“Iya pak. Saya KKN di Ngrancahan.”
“Owalah! Tidur di rumah pak dukuh?”
“Iya pak!” Aku tersenyum
Aku pamit padanya untuk bergabung
dengan teman-temanku di bagian sungai yang lain. Ia mengangguk, dan tetap duduk
di sana sambil terus menghisap kereteknya, sangat berkelas! Aku berjalan
melewati dua ibu-ibu tadi. Kami saling melempar senyum. Senyuman hangat khas
masyarakat desa. Aku bergabung dengan teman-teman. Tidak banyak yang kami
lakukan di sungai, mandi pun tidak karena kami berada di bagian sungai yang
dangkal. Sementara di sana, di bagian sungai yang cukup dalam sudah menjadi
lahan tetap tempat mandinya sapi-sapi dan kerbau warga. Tak sampai hati kami
mengganggu mereka mandi. Di sini, kami mencari tempat dan sudut bagus untuk
berfoto. Tak ada kegiatan lain, hanya berfoto. Setelah puas mengambil foto,
kami sepakat untuk balik ke posko. Sudah jam setengah satu ternyata. Waktu
memang selalu lebih cepat dibanding dengan pikiran manusia.
Setengah jam berlalu, ketika aku
sedang memotong kuku di pintu samping, di ruang tengah ramai teriakan suka
cita. Setelah kulihat, teman kuliah Puji datang berkunjung, dan sempitnya dunia
ini terbukti karena teman kuliah Puji juga adalah teman Aliyahnya Risda. Aku
kembali meneruskan memotong kuku yang sudah tidak karuan. Selesai aku memotong
kuku, aku bergabung dengan mereka bertiga di ruang tengah untuk sekadar berbasa-basi.
“Assalamu’alaikuum!” terdengar suara ramai di depan. Ibu dukuh menyambut
menjawab salam lalu menyilakan mereka untuk masuk. Mereka adalah Kepala Sekolah
dan Guru MIN di dusun ini. Pak Dukuh ke ruang tamu, mereka mulai mengobrol. Aku
kaget setengah mati ketika pak dukuh memanggil “Pak Malik! Pak Malik! Sini
mas!” Aku bergabung ke ruang tamu. Ternyata setelah dijelaskan oleh Ibu Kepala
Sekolah, pihak dari MIN menanyakan apakah kami mau kalau mengajar TPA di MIN
itu. Aku langsung menyanggupi permintaannya. Ia memberi tahu bhwaa jadwal TPA
hanya empat hari dalam seminggu, yaitu hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu. Aku
berterima kasih pada pihak MIN yang sudah memberikan kesempatan ini. Akhirnya
kami punya kegiatan pagi hari yang produktif.
Tak terasa sejam berlalu kami
mengobrol di ruang tamu. Mereka membicarakan sesuatu yang sepertinya berkaitan
dengan Pondok. Aku tak bisa mengikuti percakapan karena mereka sudah tentu
menggunakan bahasa Jawa. Aku hanya duduk, dan sesekali aku ikut tertawa untuk
sekadar formalitas.
20-07-2017. 22.49 WIB. Hari ke - empat KKN.
Pagi ini akhirnya aku merasakan hal
yang berbeda, tentunya positif. Namun, untuk melakukan hal-hal positif memang
butuh perjuangan lebih. Pagi ini aku bangun jam 5, prestasi luar biasa. Eirfan membangunkanku untuk shalat
subuh berjamaah. Semalam kami memang sudah membuat kesepakatan kalau kami harus shalat subuh berjamaah. Isfi dan gerombolannya menyuruh aku dan
Eirfan untuk melakukan suit ala Jepang, kertas, batu, dan gunting. Ini adalah cara pemilihan untuk
orang yang akan menjadi imam shalat subuh pembuka. Setelah berwudhu aku
menunggu di ruang tengah, Eirfan juga sudah terlebih dahulu di ruang tengah.
Sekitar lima belas menit berlalu kami semua sudah berkumpul, dan aku bertindak
sebagai imam pembuka.
Setelah shalat subuh kami bersiap
untuk mengeksekusi agenda kami selanjutnya, yaitu naik ke Gunung Ireng untuk
menambah koleksi foto di media sosial. Seperti biasa aku keluar terlebih dahulu
untuk memanaskan motor. Di luar, tak tahu dari mana Aweng dan Rika datang
menghampiriku. Mereka bertanya kapan mau silaturahmi ke MIN untuk membicarakan
terkait TPA. Aku menyarankan supaya agak siangan saja. “Jam 7 atau 8 saja, kita
mau ke gunung Ireng dulu euy.” Kataku. Tak dinyana Aweng malah ingin bergabung.
Kami semua sudah siap, formasi terakhir begini: Atika membonceng Fitri, Risda
dibonceng Febby, Isfi bersama Puji, Eirfan dengan Aweng, dan aku sendiri. Kami
berangkat.
Setelah sepuluh menit menempuh
perjalanan kami sampai di lokasi. Gunung Ireng ini merupakan dataran tinggi
dari dusun yang kami tempati, jadi memang jaraknya sangat dekat. Motor kami
sudah berbaris rapih di parkiran, kami lalu mengisi buku daftar pengunjung.
Betapa luar biasa pemandangan di atas gunung ini! Sungguh Tuhan adalah Seniman
sejati. Di atas gunung ini, aku benar-benar merasa seperti berlayar di lautan
awan. Saung-saung tempat untuk berfoto ditata sedemikian rupa agar match dengan
kebutuhan fotografi. Tak aku sangka, ketika aku hendak mengambil foto, seorang
perempuan memanggilku dari kejauhan. “Nadya juga di sini ternyata KKNnya.” Aku
menghampirinya, kami pun mengobrol. Tak lama kami mengobrol, aku meminta Eirfan
untuk mengambil foto kami berdua, dengan latar belakang sunrise yang sungguh
sempurna. Ia pamit untuk pulang ke poskonya, karena ternyata sudah dari subuh
dirinya di gunung ini. Aku kembali bergabung dengan teman-teman, bergaya,
mencari momen-momen pas untuk foto bersama. Puas berfoto, kami pulang. Kala
kami hendak membayar biaya retribusi, pengelola gunung ini bilang “Kalau untuk
Mas sama Mbak KKN seikhlasnya saja!” Dengan senyuman hangat khas desa. Betapa
aku heran, masyarakat desa begitu menghargai Mahasiswa yang sedang KKN. Maka
beruntunglah ia yang sedang menjalankannya, apalagi sampai terjebak cinta
lokasi.
Kembali ke posko jam 7, satu jam
kami di gunung Ireng. Teman-teman yang kebagian jadwal piket langsung bersiap
di dapur untuk memasak, aku hanya duduk di kursi depan menikmati segarnya udara
desa. Aku iri, betapa beruntungnya orang-orang yang bisa bangun subuh serta menikmati
udaranya. Merekalah orang-orang yang dikatakan bisa merasakan nikmatnya dunia.
sejam sudah aku duduk di kursi depan.
Eirfan datang menemani, tapi tak lama kami mengobrol karena aku harus mandi.
Mandi selesai. Aku sudah kembali duduk di kursi depan dengan jeans, kaos hitam
polos dibalut jas almamater. Tak lama menunggu, Aweng dan Rika datang. Kami
berangkat dengan berjalan kaki.
Di depan MIN kami disambut oleh para
guru dan anak-anak. Mereka menyuruh kami menunggu karena ibu kepala sekolah
ternyata sedang rapat dengan komite sekolah. Hampir sejam kami menunggu sebelum
akhirnya ibu kepala sekolah datang ke ruang guru untuk mengajak kami masuk ke
ruangannya. Tidak ada basa-basi, kami langsung mengobrol. Ibu Zumairoh
menanyakan ia harus mulai menjelaskan dari mana. Aku menjawab “Mungkin dimulai
dari TPA nya, sistemnya seperti apa, tempatnya dimana. Supaya kami bisa
mendapat gambaran untuk menyesuaikan konsep. “ Ibu Zumairoh menjelaskan semuanya dengan detil
dan teliti, kami dapat mencernanya
dengan mudah. Hanya setengah jam kami mengobrol, aku pamit padanya. Sebelum
meninggalkan sekolah kami menyempatkan berfoto bersama. Tiba di posko makanan
sudah siap, Aweng dan Rika ikut bergabung. Menu hari ini adalah nasi liwet,
ikan asin, tempe dan tahu goreng, tumis kangkung dan lalab. Sungguh menu yang
sangat menggugah selera. Selesai makan seperti biasa kami mengobrol setelah
Aweng dan Rika pamit. Jam 11, teman-teman masuk kamar, aku juga ikut-ikutan.
Aku tidur, nyenyak sekali rasanya. Aku dibangunkan Isfi jam setengah tiga untuk
shalat dzuhur. Sore ini aku kebagian jadwal mengajar di TPA RT 21. Jam empat
sore aku berangkat bersama Atika dan Fitri, serta ditambah Aweng, Atifa, Muza,
dan Rika dari kelompok tetangga. Sampai di mushola tempat kami mengajar belum ada
siapapun. Barulah sekitar menunggu setengah jam anak-anak mulai bermunculan.
Satu jam sudah, selesai. Kami shalat berjamaah magrib sebelum pulang.
Pulang dari TPA di rumah sepi. Aku
baru ingat mereka menghadiri acara genduren, pengajian. Aku, Atika serta
Fitri memasak mi untuk mengganjal perut yang sudah keroncongan. Selesai makan
aku langsung ke mesjid untuk shalat isya. Kami pulang membawa makanan hasil
dari pengajian. Di posko kami makan bersama. Setelah makan aku menceritakan
bahwa Ike belum bisa datang bergabung. Ia sakit dan harus istirahat. Agenda
selanjutnya, anak-anak nonton bareng film berjudul “Terjebak Nostalgia” Kata
mereka film itu sangat cocok untuk aku tonton, karena mirip dengan pengalaman
hidupku. “Siapa tahu kamu bisa dapet jalan” Risda menertawakanku. Benar saja,
setelah menonton ada satu kalimat yang membuatku sadar, bahwa “Masa lalu memang
tidak dapat berubah, tapi kita bisa.”
21-07-2017. 23.56 WIB. Hari ke - lima KKN.
Lima hari sudah aku KKN, setidaknya
itu menurut hitungan di kalender akademik kampus. Pagi ini juga sama seperti
pagi-pagi sebelumnya, shalat subuh berjamaah, sarapan, dan tentu menonton drama
Korea. Namun, ada sedikit tambahan. Karena sekarang hari jum’at kami mengikuti
senam bersama anak-anak MIN Patuk di lapangan depan sekolah. Atika, Febby, dan
Fitri bergaya di depan anak-anak bak instruktur senam profesional. Mereka
membawakan senam SKJ, senam yang sama ketika aku berada di sekolah dasar. Sejam
kemudian senam selesai.
Siang hari setelah jum’atan,
delapan orang gadis kelas 6 datang ke posko. Mereka datang untuk berlatih tari
di bawah asuhan Atika. Latihan ini untuk persiapan acara AXIOMA di Kota Jogja.
Ruang tengah berisik, aku pindah dan duduk di kursi depan. Isfi datang
mengikuti setelah sesaat aku meneguk kopi. Aku membuka pembicaraan. Aku lupa
tadi mulai dari mana, yang jelas aku sedang menceritakan tentang diriku. Bercerita
tentang bagaimana diriku sangat “brengsek” memperlakukan perempuan.
“Pas SMA pacar aku cuma satu, tapi selingkuhannya yang banyak.” Kataku
sambil tertawa lebar.
“Emang brengsek maneh mah!” Isfi mengomentari dengan nada sebal.
Aku terus menceritakan padanya bahwa saat ini aku sedang dekat dengan
beberapa perempuan, tapi tak ada satu pun yang benar-benar aku cintai. Aku
menganggap semuanya biasa saja dan sekadar pengisi waktu luang. Aku hanya
memainkan mereka ketika aku membutuhkannya. Aku bilang padanya bahwa aku
menginginkan revolusi dalam diri. “Aku harus berubah!” hatiku yakin. Ya, aku
menyadarinya bahwa diriku tak bisa terus-terusan mempermainkan perasaan
perempuan, karena memang tidak ada kebanggaan sama sekali dalam hal menyakiti
perempuan. Namun, niat itu selalu terhalang oleh egoku sendiri. Aku berpikir
sangat disayangkan jika mereka semua kulepaskan, lumayan untuk obat kesepian.
“Maneh harus berdamai jigana dengan masa lalu!” Komentar Isfi kembali.
“Nya gimana susah euy.”
“Lain susah kamu mah, ga ada niat!”
“Harus gimana atuh sok?”
“Aku rek nanya, kamu bogoh teu ka
awewe nu keur deukeut jeung maneh ayeuna?”
“Teu! Biasa aja sih.” Sambil cekikikan.
“Yaudah, kamu jangan ngsasih harapan sama mereka! Udah jauhin!Tinggalin!”
Ia kesal.
“Ya gimana?”
Kami memikirkan solusi terbaik. Lama kami berdua melamun, Atika, Risda,
Febby, dan Fitri ikut bergaung ke depan. Mereka bertanya kami sedang
mengobrolkan apa. Setelah sedikit dijelaskan, sesuai prediksi aku habis
dibully. Ting! Isfi bilang ia sudah menemukan caranya. Ia menyarankan supaya
aku membuat snapgram bersama Risda, orang yang dirasa cocok untuk membikin
cemburu perempuan-perempuan lain. Perlu diketahui, Risda ini memiliki kulit
mulus nan putih seperti bengkoang sekalipun di posko ia jarang mandi (maafkan
aku Ris! Haha). Wajahnya tenang, khas orang-orang Jawa Tengah.
“Bikin snapgramnya pake instagram kamu Lik!” Isfi memberi instruksi.
Aku mengikuti instruksi darinya tanpa membantah. Aku benar-benar was-was
membayangkan perempuan yang sedang dekat denganku melihat aku dan Risda
berduaan di snapgram. Memang itulah tujuan utamanya, supaya perempuan yang
sedang dekat denganku sadar bahwa aku terjebak cinta lokasi dengan Risda saat
KKN. Dari skenario ini diharapkan mereka menjauhiku sembari berkata “Dasar
cowok brengsek!”
22-07-2017. 23.32 WIB. Hari ke - enam KKN.
Hari ini kegiatanku sama dengan
hari-hari sebelumnya juga. Bangun subuh, sarapan, makan siang, mengajar TPA,
makan malam, shalat berjamaah di mesjid, masak, bersih-bersih rumah dan nonton
bareng. Pagi hari kami tidak memiliki kegiatan. Kami hanya mengobrol. Siang
hari juga sama saja, aku malah memutuskan untuk tidur. Tidak terasa hari sudah
sore, dan aku masih tetap menganggur. Sementara teman-teman yang jadwalnya hari
ini mengajar di TPA sudah bersiap. Sepanjang sore aku hanya memutar lagu-lagu
System Of Down sambil menyalin tulisan-tulisanku.
Magrib datang. Setelah shalat
berjamaah aku mengajar ngaji anak-anak. Tak lama hanya sepuluh menit, sisanya kuhabiskan
untuk mengobrol dengan Eirfan, Aweng, serta Yudi. Waktu isya datang. Aku
kembali ke posko. Menu malam ini adalah nasi goreng. Sebelum ataupun sesudah
makan bersama kebiasaan kami tidak berubah sama sekali. Aku lupa satu hal: hari
ini Atika izin untuk pulang lantaran keluarganya mengadakan syukuran karena
orang tua Atika akan berangkat haji. Semoga segala urusan yang mesti diurus
lancar-lancar saja ya orang tua Atika.
Jam delapan malam setelah makan, aku
duduk di ruang tamu. Di sana aku mulai melanjutkan menyalin tulisan-tulisan
lagi. Sedang asik menyalin Isfi datang bergabung, ia duduk di sebelahku. Sembari
menyalin tulisan kami mengobrol ringan tentang Asrama Kujang dan Sanggar. Obrolan
kami nyambung karena ia dulu pernah aktif di Asrama dan Sanggar. Obrolan kami
berlanjut ke masalah hati. Isfi bercerita bahwa dirinya ingin menikah di umur
dua puluh lima tahun, tapi kelihatnnya orang tua dari pacarnya ingin pernikahan
dilaksanakan sesegera mungkin dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. “Aku
ngerasa belum siap aja euy!” katanya. Aku juga kembali menceritakan hal-hal
masa lalu, dan keadaanku sekarang. Aku bilang padanya kalau saat ini aku sangat
sulit untuk jatuh cinta karena aku masih memikirkan dirinya. “Ya sudah mungkin
kamu perlu waktu. Sekarang mah kamu muhasabah, memperbaiki diri dulu aja!
Jangan brengsek terus! Yakinlah jodoh mah gak bakal ketuker. Nanti juga kalo
udah waktunya mah bakal ketemu.” Sekalipun pernyataanmu terdengar klise, tapi
rasanya semua itu sulit untuk dibantah.
23-07-2017. 22.55 WIB. Hari ke - tujuh KKN.
Tujuh merupakan angka keramat bagi kebanyakan
orang. Lihat saja pemain-pemain sepak bola macam Eric Cantona, David Beckham,
Luis Figo, Frank Ribery, Robert Pires, Antoiene
Griezman, dan tentunya pesepakbola terbaik abad ini Cristiano Ronaldo,
semua pemakai kostum bernomor tujuh di punggungnya. Tidak hanya pesepakbola,
Tuhan juga menyukai angka tujuh. Ia menciptakan
tujuh lapis langit dan bumi
sebagai bukti bahwa “tujuh” ini memang bisa dikatakan keramat. Namun bagiku,
setidaknya untuk angka 7 di hari ini tidak sekeramat seperti bukti-bukti di
atas. Hari ketujuh KKN ini benar-benar kosong bagiku, hanya ada satu kejadian yang akan kubagi.
Di hari ketujuh KKN, bulan ketujuh
aku memimpikan seseorang yang lahir di tanggal 7 dan tahun 97. Resty, aku
memimpikanmu. 7 tahun sudah kita tak pernah bertatap muka, mengobrol hangat,
dan juga aku sudah tidak bisa merasakan hangatnya senyummu itu. Namun, selama 7
tahun ini, kerinduanku sedikit terobati lewat mimpi-mimpi bersamamu. Kau
mungkin perlu tahu bahwa selama 7 tahun tak bertemu, aku selalu memimpikan
dirimu dengan frekuensi stabil, seperti hari ini. Hari ini di impianku: Aku
berada di sebuah ruangan, sepertinya ruang tamu. Di ruang tamu ini aku ditemani
Isfi yang sedang duduk di sofa memainkan gadgetnya. Sementara aku sedang
bercermin di depan cermin yang sangat besar, sampai tembok di belakangku
terlihat jelas. Aku dan Isfi sedang mengobrol, tak tahu apa yang kami obrolkan.
Sedang asik mengobrol, entah datang dari mana kau lewat di belakangku sembari
tersenyum melihatku. Hatiku gemetar, apa itu memang dirimu? Saat kau sudah
keluar aku membalikan badan kemudian duduk di sisi lain sofa. Aku yakin
perempuan yang tadi kulihat di cermin itu memang kau. Belum habis rasa
penasaranku, ia kembali masuk menghampiri kemudian duduk di sampingku. Aku
senang bukan kepalang! Kau melihatku dengan kemalu-maluan, lalu berucap hangat “Aa!
A Ridwan...!” Kami saling memandangi, dan kau tetap cantik seperti biasanya.
“Lik! Malik! Bangun Lik!” Eirfan
menghancurkan mimpi indahku. Padahal aku belum sempat bertanya padanya
bagaimana harinya berjalan, apa ia sudah makan atau belum, memuji
kecantikannya, dan yang paling aku sesali aku tidak sempat mengucapkan “Aku
mencintaimu! Aku masih mencintaimu! Dan aku akan selalu mencintaimu!” Kata
orang, saat aku memimpikanmu, di sisi lain kau juga sedang memikirkan diriku.
Aku berdo’a semoga itu benar.
Resty...
Aku
merindukanmu dari ujung kepala sampai kaki
Aku
mencintaimu seperti aku mencintai nyawaku sendiri
Aku
memikirkanmu seperti Muhammad memikirkan umatnya
Aku,
Kau, dan mimpi-mimpi ini, semoga selalu kembali seperti
Bintang-bintang saat malam
Bulan
ketika gelap
Matahari
menghidupi siang, dan
Ikan-ikan di lautan
Apa aku baru saja mengatakan bahwa
angka 7 juga keramat untukku?
24-07-2017. 22.42 WIB. Hari ke-delapan KKN.
Hari ini, sudah tiga kali
berturut-turut aku tidak menunaikan shalat subuh. Bukan karena aku tak bisa
bangun subuh, tapi aku juga tak tahu kenapa diriku jadi begini. Berilah hambamu
ini pertolongan dan hidayah Ya Allah! Aku bangun jam 8, di ruang tengah hanya
ada Fitri dan Ike sedang mengurusi proposal kegiatan. Ike membuat cover,
sementara Fitri menangani bagian penulisan. Aku menandatangani proposal yang
sudah siap dan mengecapnya. Teman-teman yang lain baru datang dari pasar
membawa seabreg belanjaan. Mulai dari rempah, bumbu, sayuran, ikan, telur, dan
saking banyaknya aku tak tahu apa saja yang mereka beli. Hari ini senin, dan
aku kebagian jadwal piket. Risda menyuruhku untuk membuang sampah yang ada di
depan dan di dapur. Sampah di depan beres. Aku ke dapur untuk mengambil sampah
lainnya.
”Pak Malik! Pak Malik! Jadi ikut takjiah kan?” Pak Dukuh menegurku
sembari mengancingkan bajunya.
“Mampus aku lupa!” Jawabku di dalam hati. Aku meneruskan “Iya pak jadi!”
Sampah tak jadi kubuang. Aku bersiap dengan cepat, memakai celana hitam
kain, baju koko lengan panjang serta peci hitam di kepala. Aku lari ke posko
kelompok tetangga untuk mengajak Aweng. Kami berangkat.
Sampai di lokasi, warga sudah berkumpul, duduk di bawah tenda depan
halaman rumah menggunakan kursi-kursi plastik yang sudah tersusun rapi. Aku
menyalami beberapa orang warga yang kulewati sebelum duduk di barisan kursi
paling belakang. Sekitar sepuluh menit berlalu, jenazah ibu Warsinah sudah di
luar, ditandu oleh empat orang warga. Para keluarga satu persatu mengolongi
jenazah ibu Warsinah beberapa kali. Aku tak tahu apa maksudnya. Setelah itu,
pak Dukuh berbicara banyak di depan mengenai jenazah ini dengan bahasa Jawa
halus, tentu aku tak memahaminya. Aku hanya bisa menangkap sebagian tentang
anak-anak, cucu, dan cicit dari jenazah. Pak Dukuh juga menyampaikan jika ada
hutang jenazah yang belum dibayar, pihak keluarga akan melunasinya, kemudian
untaian do’a menutupnya. Jenazah berangkat. Di depan iringan jenazah ini ada
ibu yang membawa sapu lidi, ia menyapu jalur yang akan dilalui. Di belakang ibu
penyapu, ada satu ibu lagi yang membawa ‘teko’ berisi air yang disiramkan ke
jalur yang sudah disapu tadi. Kira-kira lima puluh meter kami sampai di
pemakaman. Para warga melepas alas kakinya sebelum masuk ke area makam. Aku
teringat sesuatu; Ibu mertua dari abangku pernah bercerita bahwa orang-orang
Jawa selalu melepas alas kaki mereka sebelum masuk makam. Mereka meyakini bahwa
makam itu adalah rumah bagi mereka yang sudah tiada. Sederhananya, jika kita
hendak masuk rumah, rumah siapapun itu, maka otomatis alas kaki harus kita
lepas supaya rumah tetap bersih. Proses pemakaman selesai, aku kembali.
Tiba di poko, Risda langsung menyuruhku cepat-cepat mandi. Isfi ikut-ikutan
menambahi, kalau aku tidak mandi mereka tidak akan mau untuk makan bersama. Aku
berkomentar “Alasan kalian masih yang semalam?” Malam sebelumnya kabar mengenai
ajakan takjiyah dari pak Dukuh ini aku sampaikan pada teman-teman. Isfi dan
Risda kompak menolak dengan “Tidak! Aku gak bisa!” Saat aku bertanya kenapa,
mereka bilang jenazah itu kan bisa dikatakan ‘bangkai’, dan ia juga bukan
saudara mereka. Mereka takut terkena penyakit dari jenazah. Aku kaget setengah
mati mendengar alasannya, tapi malam itu aku tak bisa berkomentar. Pagi ini,
setelah pulang dari takjiyah aku mendapat pencerahan dari Aweng. Sekali lagi
aku bertanya pada mereka:
“Alasan kalian masih yang semalam?”
“Ya!”
Aku menanggapi “Kalau kalian bilang ‘tidak bisa’ karena jenazah itu
bukan saudara, bukankah kita ini sama anak cucu Adam? Jadi secara teknis kita
ini saudara! Coba kalian bayangkan! Misal: salah satu dari keluarga kalian
meninggal, tetangga dan warga di lingkungan kalian punya kepercayaan yang sama
seperti kalian, pasti sangat sedikit sekali orang yang mau mengurus dan
mengantar jenazah keluarga kalian itu! Atau bahkan tidak ada yang peduli sama
sekali, bagaimana?”
Mereka diam. Seperti biasa dan memang sebuah hal yang lazim terjadi di
dalam obrolan, perempuan akan lebih cenderung emosional dari pada rasional. Itu
terbukti. Mereka tetap memarahiku, dan aku cepat-cepat pergi ke kamar mandi.
25-07-2017. 23.22 WIB. Hari ke - sembilan KKN.
Rutinitas di hari ini berjalan
seperti biasa, ada yang mengajar di TPA, jadwal piket masak, bersih-bersih
rumah, cuci piring, dan semacamnya. Setelah dzuhur, aku mengusulkan pada
teman-teman untuk makan bersama, tapi dengan suasana baru, air terjun. Tempat
ini tak jauh dari posko, sekitar lima belas menit. Teman-teman setuju. Aku
memasak nasi liwet, sementara yang lain
memasak lauknya. Masakan sudah siap. Kami berangkat dari posko sekitar jam
setengah satu, dan tak butuh waktu lama kami sampai di lokasi. Namun, air
terjun yang kami bayangkan tidak ada. Sebab, sekarang sedang musim kemarau.
Akhirnya kami makan siang di saung dekat air terjun. Tidak ada sesi berfoto,
setelah makan kami langsung pulang.
Jam lima sore aku dibangunkan
teman-teman untuk shalat ashar. Setelah mandi dan shalat aku mengaso di depan
sambil mengeringkan rambut. Aku baru ingat kalau malam ini aku punya janji
dengan Rika untuk mengobrol. Malam sebelumnya, “Besok malam aku bikin
pertanyaan-pertanyaan ya, biar ngobrolnya lebih enak.” Kataku sambil
berpamitan. Rika Apriliyani, Sekertaris kelompok tetangga, kuliah Jurusan
Psikologi, kampung halaman Wonogiri. Aku sangat tertarik untuk mengobrol
dengannya. Terlebih aku ingin tahu tentang permasalahan-permasalahan psikologi
yang dialami oleh orang banyak, lumayan ada Psikolog gratis. Setelah shalat
magrib aku menuliskan beberapa pertanyaan untuknya. Pertanyaan sudah siap.
Setelah makan malam bersama, kami
tetap menjalankan tradisi sepuluh menit setelah makan. Setelah itu aku bilang
pada teman-teman supaya tidak mengunci pintu depan karena mungkin aku akan
pulang larut. Sampai di posko tetangga, seperti biasa aku duduk di luar depan
rumah dengan satu meja dan empat kursi kayu. Sebelum Rika keluar aku mengobrol
dengan Lutfia dan Muza yang sudah mengisi
dua dari empat kursi kosong itu. Rika keluar, dan kami duduk saling berhadapan.
Aku seperti tengah benar-benar menghadapi seorang psikolog. Aku memulai dengan
berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Ia sempat bercerita sedikit kalau
dirinya sangat menyukai Rumah Sakit dan Stasiun Kereta. Setengah sembilan
barulah aku mulai dengan pertanyaan pertama.
“Rik, kita kan sebagai manusia pasti gak akan pernah lepas dari yang
namanya permasalahan. Kira-kira masalah seperti apa sih yang bisa bikin
seseorang hancur berkeping-keping, terpuruk, frustasi, depresi, atau masalah
itu bisa sampai menimbulkan niat untuk mengakhiri hidup secara manual?”
“Keluarga.” Ia menjawab mantap.
Ia melanjutkan, memberikan contoh-contoh bagaimana sebuah masalah
keluarga dapat membuat seseorang terkena efek psikologis yang luar biasa.
Karena masalah keluarga seorang suami bisa menyelingkuhi istrinya atau
sebaliknya. Seorang anak bisa mengalami frustasi dan depresi, lalu terjerumus
dan dililit narkoba, ia tak bisa sembuh dan mati karena narkoba. Perceraian,
KDRT, masalah keuangan keluarga, sangat bisa membuat seseorang jadi kriminal.
Sebuah bangsa bisa hancur karena satu permasalahan di dalam sebuah keluarga,
dan keluarga menjadi komunitas pertama yang bisa menentukan pribadi sebuah bangsa.
“Di Ilmu Psikologi ada yang disebut dengan skala stres. Yang pertama:
kematian, perceraian, kondisi kesehatan keluarga, dan kondisi kesehatan
pribadi.” Rika meneruskan.
“Itu kematian yang gimana maksudnya?”
“Nah kematiannya itu seperti kematian keluarga, sahabat atau teman.
Intinya kematian seseorang yang memiliki ikatan emosional dengan kita.”
“Ada yang lebih parah gak?”
“Yang lebih parah ya gabungan dari skala-skala itu. Contohnya gini: ada
anak yang mengalami broken home. Anak ini kan biasanya stres melihat
orang tuanya seperti itu, terus si anak mencari pelarian atau pelampiasan
emosinya ke obat-obatan terlarang. Biasanya kan kalo udah kecanduan susah buat
sehat lagi. Otomatis kesehatan si anak terganggu, terus dia frustasi, dan
akhirnya mengakhiri hidupnya.”
“Wah keren yah!” Aku tertawa. Aku melanjutkan bertanya “Oh iya, menurut
kamu ada gak tempat untuk manusia, di mana di tempat itu orang bisa melepas
semuanya, mulai dari status sosialnya, kelas ekonomi, pendidikan, dan
semacamnya. Di tempat itu semua manusia sama, yaitu sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Kira-kira ada gak tempat yang bisa mewakili semua itu?”
“Mesjid gak sih?”
“Tapi kan kalo mesjid atau tempat ibadah, orang masih membawa sesuatu, agamanya?”
“Iya juga sih. Apa yah?”
“Kuburan?” Aku menawarkan.
“Kenapa kuburan?”
“Karena kan di kuburan semua orang berkumpul jadi satu, mau si miskin,
si kaya, si pinter, si bodoh, pejabat jujur, pejabat korup, presiden, polisi,
tentara, kyai, pendeta, biksu, baik, buruk, surga, neraka, semua ada kan?”
“Ya.” Rika menerawang. “Tapi kan di kuburan, orang juga masih
dikelompokkan. Ada kuburan Islam, Kristen, Katolik, terus malah ada yang
mayatnya dikremasi dan tidak punya kuburan. Bahkan kuburan umum pun masih bisa
dikatakan suatu pengelompokan yang di dalamnya berisi bermacam-macam manusia.”
“Iya sih! Apa memang ‘manusia’ itu tidak bisa dan tidak akan pernah bisa
lepas dari identitas dirinya walau ia mati sekalipun?”
“Nah iya bener, bener. Contohnya: Orang yang mengaku tidak punya Tuhan,
ya itu identitas dia sebagai orang yang tidak bertuhan. Atau maaf, orang gila.
Meskipun orang ini otaknya rusak, tapi ya itu menjadi sebuah identitas
untuknya.”
Kami sempat terdiam, malam juga semakin dingin, sedingin diamnya kami.
Namun, saat itu percakapan aku dan Rika menjadi api yang membuat suasana tetap
hangat. Aku bilang padanya kalo aku harus ke toilet, ia tersenyum memaklumi.
Aku kembali dari toilet. Ternyata di sisi meja lain, Rexy, Lutfia, dan Muza
juga sedang memperbincangkan sesuatu. Aku tak bisa memahaminya, mereka semua
berbicara memakai bahasa ngapak. Aku dan Rika hanya tertawa memerhatikan
mereka. Rika mengalihkan kembali perhatiannya padaku, ia bertanya “Kamu tau gak
Lik kenapa orang susah move on?” Sontak aku terkejut mendengar
pertanyaannya. Aku kaget setengah mati, apa ia bisa membaca diriku, dan ia tahu
kalau aku masih susah untuk move on?
“Emang kenapa?” Aku tersenyum mengendalikan diri.
“Gini Lik, di dalam otak kita kan sebenarnya ada bagian-bagian lagi. Ada
bagian otak untuk menyimpan kenangan, terus ada yang menyimpan emosi, seperti
marah, cinta, sedih, bahagia, dan macam-macamlah pokonya. Nah di dalam otak,
tempat menyimpan kenangan dan emosi itu berdampingan. Jadi, memang manusia
tidak akan pernah bisa untuk melupakan apa yang telah ia alami selama hidup.”
“Jadi gak adil misalnya kalo kita nyuruh orang untuk melupakan suatu
kenangan?”
“Benar! Sangat tidak adil. Kita sebenarnya tidak boleh menyuruh orang untuk
‘sudahlah lupain saja!’ atau ‘ngapain sih masih dipikirin!’, itu tak bisa,
tidak boleh!”
“Jadi?” Aku menyela.
“Jadi kita biarkan saja orang itu memelihara kenangannya selama dia
masih menginginkannya!” Ia tersenyum, sampai matanya yang sipit tenggelam di
balik wajahnya yang teduh.
Benar juga apa yang dikatakan Rika. Kadang kita terlalu memaksakan diri
untuk melupakan sesuatu hal dengan alasan untuk kebaikan. Nyatanya, paksaan
tidak dapat menjadikan sesuatu itu menjadi lebih baik. Dalam hidup ini kita
tidak harus melawan arus yang sudah ada, justru sebaliknya. Kita hanya perlu
mengikuti dan memilih arus yang sudah ada untuk mencapai keinginan dan
cita-cita yang dapat mengantarkan kita pada kebahagiaan. Aku menanyakan
pertanyaan terakhir padanya.
“Jadi apa sih yang bisa mengantisipasi, mengobati, memulihkan, atau
bahkan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi seseorang?”
“Keinginan, hanya itu!” Ia tersenyum.
“Psikolog yang luar biasa!” Aku memuja di dalam hati.
26-07-2017. 21.36 WIB. PHari ke - sepuluh KKN.
Ada yang tidak biasa hari ini. Subuh
tadi aku sudah bangun jam empat, aku sekalian membangunkan Eirfan. Ia tak
bangun, aku juga tidur kembali, karena masih mengantuk dan kupikir waktu menuju
subuh masih panjang. Sial! Perdiksiku salah. Aku malah bangun setengah enam,
itu pun dibangunkan Isfi dkk untuk shalat subuh. Hari ini kegiatanku seperti
biasa, hanya tadi jam sepuluh aku pergi dengan Aweng ke posko Panjatan 1 yang
dijadikan tempat untuk berkumpul. Kemarin para ketua se-desa Pengkok sepakat
untuk berkumpul, dengan agenda sharing dan ada beberapa info dari Korcam
terkait pembuatan kaos bersama dan pesan dari pak Camat. Jam 12 aku sudah di
posko. Di depan rumah Febby sedang memanaskan motor, di sisi lain Risda duduk
di kursi sembari membetulkan sandalnya. Risda memakai rok jeans berwarna biru
dengan baju warna putih, kepalanya dibalut kerudung sedikit motif bunga tipis.
Ia terlihat lebih cantik dibanding hari-hari sebelumnya.
Risda Khoirin Aghnia, cendikiawan
yang lebih baik kaya, setidaknya itu terjemahan bebas dari namanya. Perempuan
yang sedang menjalani Long Distance Relationship dengan pria bernama
Muhammad Zainal Abidin. Sebentar, Zainal Muhammad Abidin. Bukan! Bukan! Ahmad
Zainal Abidin? Entahlah aku tak ingat nama lengkapnya siapa, tapi Risda
memanggilnya ‘Zain’. Tempat lahir Semarang, 20 November 1996, tinggi
kira-kira-150-155 cm, dengan berat
sekitar 42-44 kg, menjadikannya memiliki tubuh yang proposional. Ia dianugerahi
kulit mulus putih bengkoang, yang membuat teman-teman di posko menyirikinya. Di
betis kirinya ia memiliki sebuah tanda, yaitu
bekas terkena knalpot panas, aku melihatnya saat ia sedang mencuci piring.
Teman-teman sering bilang padanya “Kamu itu tetep cantik mau digimanain juga.”
Matahari tak sanggup untuk membuat kulitnya gosong, udara dingin menyerah untuk
membuat kulitnya kering, dan saat malam menggoda kulitnya tetap saja bercahaya.
Sepertinya alam sangat merestui dirinya. Kecantikannya tidak dibuat-buat alias
natural. Aku tidak pernah melihatnya berlama-lama bersolek, waktu yang ia
tempuh untuk mandi juga tak lama, bahkan kebanyakan di posko ia jarang sekali
mandi. Maafkan aku Ris!
Berkat Pondok, ia menjadi orang yang
mudah untuk menerima hal-hal apa adanya di lingkungan barunya. Sangat
berpikiran terbuka, dan bukan tipikal ukhti ukhti syar’i yang menolak
bersalaman dengan lawan jenis. Kadang kelakuannya juga ‘gila’, apalagi saat ia
tertawa, tawa orang lain bisa dibenamkannya dengan mudah. Apa mungkin kau
memang gila neng? Ya, aku meyematkan panggilan “neng“ atau “neneng” padanya.
Pertama kali aku melihatnya, aku seperti melihat dirimu. Tidak adil memang
untuk membandingkan seseorang, sebab tiap manusia itu unik. Aku hanya berpikir,
mulai dari warna kulit sampai potongan senyum dan wajahnya sangat mirip
denganmu. Aku senang saat mengobrol dengannya, apalagi jika sudah berbicara
tentang pasangan hidup. Kadang ia menceritakan tentang hubungannya, tentang
bagaimana rasanya menjalani LDR, tentang apa itu saling percaya, tentang apa
itu rindu, dan tentang apa itu menunggu. Hampir setiap hari kau tersenyum memandangi
layarmu, tersenyum, kau sedang bahagia, mungkin kau sedang membaca pesan mesra
dari pacarmu. Pernah aku bertanya padanya saat kami sedang mencuci piring.
“Neng, kamu yakin kalo si Zain itu
jodoh kamu?" Aku mengoloknya.
“Ya aku juga nggak tahulah!” Mukanya
sebal dengan senyum.
“Tapi kalo aku liat, kalian emang
gak bakal berjodoh.” Aku tertawa lebih keras.
“Sok tahu! Ya aku juga nggak tahu, tapi ibuku pernah bilang sama aku
‘kalo emang jodohnya ya sudah, tapi ya kalo bukan juga ya sudah’”
“Kalo cinta kamu diukur pake persenan, kira-kira nyampe 70 persen gak?”
“Kalo lebih dari 70 persen kenapa? Kalo kurang dari 70 kenapa?”
“Dasar perempuan!” aku menggerutu. “Tapi untungnya jodoh itu misteri ya
neng, jadinya asik kita gak pernah tahu, terus bisa nyobain gimana rasanya pacaran
sama jodoh orang lain.” Kami tertawa bersama.
27-07-2017. 23.33 WIB. Hari ke -
sebelas KKN.
Hari ini jadwalku mengajar TPA di
MIN 7 Gunungkidul. Sesuai yang kami sepakati dengan pihak MIN, selasa minggu
ini kami semua mulai beraktivitas di sekolah. Aku bangun setengah enam,
langsung mandi dengan suhu lumayan ekstrim. Setelah mandi aku shalat subuh.
Belum berubah, shalat subuhku masih di kisaran jam setengah enam sampai jam
enam. Ada pepatah mengatakan “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”
Aku pikir ungkapan itu tidak cocok jika ditempatkan dalam konteks beribadah.
Sudah, lupakan saja!
Jam 6.15 aku sudah di MIN. Aku
berkeliling melihat ruang-ruang kelas, mulai dari kelas 1-6. Anak-anak mulai
berdatangan. Aku mengajar ngaji di kelas 5 dan 6, karena di kelas 3 dan 4 sudah ada ustadz yang mengajar. Satu per satu
anak-anak mengaji. Mereka mengantri dengan sabar sembari bermain-main. Di luar
hujan lumayan deras, tapi semangat anak-anak malah lebih deras daripadanya.
Mengaji selesai tepat jam 7. Bel berbunyi, itu tandanya anak-anak harus naik ke
lantai dua, Mushola. Anak-anak ini dibiasakan untuk menunaikan shalat dhuha.
Tepat di bawah tangga, ibu Zumaroh memberikan instruksi melalui microphone “Anak-anak,
karena sekarang hari kamis qur’annya dibawa ke atas ya! Kita membaca yasin
bersama.” Mushola ini kira-kira berukuran 6x4 meter, lumayan luas untuk ukuran
mushola setingkat MIN. Shalat dhuha dipimpin oleh pak Ibrahim, guru agama di
sekolah ini. Shalat dhuha selesai, kemudian kami melanjutkannya dengan mengaji
bersama. Setelah mengaji, aku dan teman-teman pamit pada ibu Zumaroh dan
guru-guru. Di sepanjang jalan menuju posko aku memikirkan betapa anak-anak ini
sejak kecil sudah diajarkan bangun sepagi mungkin dan terus melakukan
aktivitas. Selama aku kuliah di Jogja jarang sekali aku mulai beraktivitas dari
jam 6, paling-paling mulai jam 7, itu pun dengan perkuliahan yang sudah pasti
membosankan.
Tiba di posko, makanan sudah
menyambut. Seperti biasa kami makan bersama, dan dilanjutkan mengobrol ringan
terkait penyebaran proposal kegiatan. Semua selesai, dan aku bingung harus
melakukan apa. Aku hanya berbaring di ruang tengah. Jam 9, Isfi dan Ike pamit
untuk ke kota, mereka humas yang mengemban tugas mulia, menyebar proposal. Ibu
dukuh ke ruang tengah meminta teman-teman yang tersisa untuk membantunya
memasak. Katanya ia akan mengadakan syukuran lantaran telah membeli tanah baru.
Atika, Risda, serta Puji langsung mengamini permintaan bu dukuh. Aku penasaran,
kenapa ibu dan keluarga mengadakan acara syukuran lantaran membeli tanah? “Emang di sini katanya kalau
orang beli barang apa, biasanya ngadain acara sukuran. Beli motor sukuran, beli
mobil sukuran, beli sapi sukuran, beli tanah sukuran, beli jenset sukuran,
semuanya pake acara sukuran.” Atika menerangkan. Sungguh besar sekali rasa
syukur orang-orang di desa pada Tuhan, beda dengan orang-orang kota. Ibu dukuh
memasak banyak hari ini, alhasil ia mengharamkan kami untuk memasak sampai
makan malam. Matur suwun ibu! Kau membantu menghemat anggaran kami.
Sore hari ibu memberi tahu kalau
nanti sehabis magrib ada genduren. Magrib memanggil. Selesai shalat,
para jemaah duduk melingkar di beranda masjid beralas tikar. Tua-muda,
besar-kecil, laki-perempuan, semua berkumpul. Genduren sederhananya adalah
tahlil, yaitu orang berkumpul di suatu tempat untuk mendoakan keluarga yang
meninggal. Biasanya di mulai dari 7 hari pertama setelah seseorang meninggal,
lalu tiap malam jum’at selama tujuh kali, lalu 40, 100, sampai peringatan di
hari ke seribu. Genduren selesai, waktunya makan. Ada hal unik, di tempatku
setelah selesai tahlil makanan sudah dibungkus dan dibawa pulang, di sini, kami
makan bersama di atas daun jati. Ini hal baru untukku. Teknis makan bersama
tidak jauh berbeda dengan prasmanan, tapi di sini aku hanya harus menunggu di
depan daun jati kosong sebelum daunnya diisi oleh petugas. Orang-orang ini
berkeliling menuangkan nasi, sayur, dan lauk pauk. Yang membikinku kaget, semua
mendapat kucuran nasi dan sayur dan lauk pauk yang banyak. Bahkan, kupikir ini
tiga kali lipat lebih banyak dari porsiku yang juga biasa banyak. Sebuah
kearifan lokal yang indah. Tidak hanya indah, tapi membantu menghemat anggaran
belanja.
28-07-2017. 22.12 WIB. Hari ke - dua belas KKN.
Genap sudah dua belas hari aku KKN,
dan kesanku biasa saja. KKN itu mudah, ikuti saja arus yang sudah ada. Tidak
harus memaksakan membikin program bermacam-macam, sebab sejatinya KKN adalah
tentang hidup itu sendiri di masyarakat, bukan tentang membikin program-program
formalitas untuk laporan administrasi ke kampus. Hari ini, aku diuji oleh hidup
itu sendiri.
Siang tadi setelah shalat jum’at ada
pesan masuk dari Aldan Indoboga. Aldan menginformasikan bahwa manajer
marketingnya sedang ke luar kota dan mereka meminta kami untuk mengirim
proposal berbentuk soft file via e-mail. Teman-teman kuberi tahu, terutama
sekretaris. Aku memintanya untuk menyunting kembali proposal kegiatannya,
karena pihak-pihak yang kami datangi banyak mengeluhkan masalah typography.
Fitri menjawab akan segera menyuntingnya. Aku memerhatikannya sekaligus
menunggu, sepertinya tubuhnya tidak mengerti apa yang diucapkan oleh mulutnya.
Dari tadi ia hanya duduk cengengesan di depan laptop menonton drama korea. Aku
kembali mengingatkannya! Namun dirinya lebih memilih mati demi drama korea.
Yasudah aku tetap membiarkannya mati.
Jam delapan malam aku pulang ke
posko setelah mengajar TPA di RT 24. Makanan sudah menyambut. Menu malam ini:
sayur lodeh, sayur wortel dicampur buncis, dan perkedel. Tanpa curiga
sedikitpun, sayur wortel itu langsung aku sikat. Mereka memandangku aneh, dan
aku tak peduli. Setelah mengunyah dua sendok sayur wajahku mulai banjir
keringat.
“Sayurnya kenapa pedes gini?” Kataku kepayahan.
“Lagian kamu gak nanya itu pedes atau enggak.” Jawab sekretaris dengan
dingin.
“Ternyata tadi ia hanya pura-pura mati, sial!” Batinku.
Teman-teman yang lain juga ikut-ikutan menertawaiku tanpa rasa berdosa
sama sekali. Teman-teman selesai makan dengan cepat, sementara aku masih
berjuang melawan sayur pedas sialan ini! Mereka tak mengalihkan pandangan dariku,
dan saat keringat mulai bercucuran jatuh, itu momen di mana mereka tertawa
sekeras-kerasnya. Aku merasa seperti binatang di dalam sirkus, hiburan bagi
mereka. Teman-teman tahu kalau aku tidak bisa makan pedas sedikit pun, tapi
mereka tak pernah mencoba merasakan bagaimana rasanya menjadi manusia yang sama
sekali tidak memiliki hasrat terhadap cabe, dan ini sudah kesekian kalinya
mereka mengerjaiku.
“Kalo pedes kenapa masih dimakan?” Seorang teman sumringah mengomentari.
“Aku cuma ngambil hakku! Kalian makan dua jenis lauk, masa aku cuma pake
perkedel?”
Memang sulit ketika cabe sudah menguasai jiwa seorang perempuan, hati
nurani mereka jadi sangat pedas. Aku berdoa semoga kalian tidak cepat-cepat
terkena usus buntu.
Makan malam selesai. Di ruang tengah aku menanyakan perihal kaos ingin
seperti apa. Mulai dari desain, warna, dan teknis produksi. Kami dihadapkan
dengan dua pilihan, pertama desain yang dibuat Febby, kedua desain bersama dari
korcam. Aku mengusulkan untuk dilakukan voting supaya cepat selesai. Atika
menyela dan pikirnya lebih baik kami menentukan warna terlebih dahulu.
Pemilihan warna bagai hidup dan mati bagi mereka. Lima belas menit berlalu, abu
menjadi pemenang di ajang kontes warna ini. Sekarang desain, dan kembali
perempuan-perempuan itu menguasai panggung. “Ini lho!” “Ini lho bagus!” “Tapi
yang ini gak nyambung sama kerudung.” “Ih bingung!” “Tapi kayanya yang tadi
juga bagus.” “Tapi aku ikut ajalah!” Tapi ini, tapi itu, tapi begini, tapi
begitu, tapi, tapi, dan tapi, yang mereka bicarakan dari tadi hanya “tapi”
bukan desain kaos. Mereka menanyakan kalau aku suka desain yang mana, “Aku yang
mana aja biar cepet!” Jawabku. Febby
yang dari tadi diam menunduk memainkan gadgetnya tiba-tiba berdiri mengambil
piring-piring kotor. Ia pergi ke dapur sambil berkomentar dengan nada kesal “Kalau ngikut-ngikut aja ngapain
pake voting? Udah ikut desain patuk itu!”
Jelas ucapan dan tatapan itu diarahkan padaku. Aku hanya diam menahan
emosi, aku pikir jika batu beradu dengan batu sudah dipastikan hasilnya hancur.
Tidak lucu saja kalau kami bertengkar gara-gara kaos. Lama aku terdiam dan
aku mulai memahami. Febby merasa aku tak menghargai desainnya karena tadi aku
mengusulkan untuk voting memilih antara desainnya atau dari korcam. Aku mulai
mengerti kenapa dari tadi ia hanya diam saja tidak banyak berkomentar. Padahal
biasanya ia orang yang paling cerewet. Aku tak bermaksud seperti apa yang
mungkin ia rasakan, tapi jika memang kau hanya memikirkan masalah itu dengan
perasaanmu, aku pikir kau punya hak untuk membenciku.
29-07-2017. 23.24 WIB. Hari ke - tiga belas KKN.
Malam hari setelah makan malam,
sekitar jam setengah sembilan kami berkumpul. Sesuai agenda, hari sabtu dipilih
sebagai hari terbaik untuk evaluasi. Evaluasi kelompok ini dilakukan setiap
seminggu sekali. Tujuannya jelas untuk menilai kinerja yang sudah dilakukan.
Selain itu, evaluasi ini dijadikan tempat untuk mencurahkan unek-unek, kritik
dan saran, keluhan tiap anggota, masalah pribadi, ingin apa atau apa, haarus
apa atau apa, dan semacamnya.
Hal pertama, kami membahas hubungan
kerja dengan kelompok tetangga. Teman-teman menceritakan bahwa ada salah satu
anggota kelompok tetangga yang sudah empat hari berturut-turut mengabaikan
kewajibannya mengajar di TPA. Tidak ada penjelasan darinya. Masih membicarakan
orang ini, tadi saat dirinya kebagian
jadwal TPA malam, ia tidak memakai jas
almamater, teman-teman merasa keberatan. Mereka menanyakan padanya kenapa, dan
dengan tanpa rasa berdosa ia hanya menjawab “Males!” TPA ini merupakan kegiatan
formal, jadi memang seyogyanya jas almamater dipakai. Masih terkait TPA, Atika menambahkan supaya kita
mengingatkan Dyan untuk menunaikan tugasnya sebagai penanggung jawab TPA.
Tugasnya sederhana, hanya mengingatkan di grup WhatsApp jadwal TPA tiap hari.
Ia tidak pernah mengingatkan, sejauh ini hanya Atika yang koar-koar di grup.
Puji juga menambahkan cerita: ibu-ibu PKK menanyakan padanya, atau lebih
jelasnya mereka meminta mahasiswa KKN mengagendakan senam untuk ibu-ibu.
Masalah-masalah dan masukan tadi akan kami bicarakan besok dengan tetangga.
Setiap hari minggu memang jadi hari untuk evaluasi bersma dua kelompok.
Selanjutnya evaluasi kelompok kami.
Aku langsung membuka jalan pada teman-teman untuk apa-apa yang perlu
dibicarakan, diganti, dirubah, dsb. Risda mengawali, ia mengusulkan agar setiap
hari rumah harus dipel, tidak dua kali sehari. “Biar adil” katanya. Atika menambahkan,
ia ingin supaya setiap seminggu sekali bak mandi dikuras dan dibersihkan.
Eirfan menjadi orang pertama yang akan melakukannya besok. “Baju! Baju!” Atika
kembali menyela. Kami memang belum memutuskannya sejak kemarin malam. Aku
menanyakannya pada teman-teman ingin seperti apa, dan “Ngikut ajalah!” jawab
semuanya. Kemudian aku menanyakan bagaimana perkembangan proposal kegiatan yang
sudah disebar. Isfi dan Ike mengusulkan setidaknya sampai hari rabu minggu
depan ada yang turun untuk menyebar proposal lagi. Aku kebagian hari senin,
Febby dan Risda selasa, Atika dan Puji rabu. Sementara Eirfan, karena alasan
bahasa tidak diikutsertakan. Kami menlanjutkan membahas program kerja yang akan
dieksekusi tanggal 5 Agusutus, sabtu depan. Programnya sederhana, penyuluhan
dan praktek cara membuat pupuk cair organik. Pematerinya ialah teman kerja
saudaranya Fitri yang sama-sama berada di Pemda Wonosari. Belum ada kejelasan
tentang apa saja yang harus kami sediakan, biasa slow respon.
30-07-2017. 22.43 WIB. Hari ke - empat belas KKN.
“Malik! Bangun Lik! Pak dukuh bilang
ada kerja bakti di RT 23!”
“Jam berapa sekarang?”
“Sudah setengah tujuh!” Puji menyalak.
“Pantas saja aku masih mengantuk.” Keluhku.
Aku cepat-cepat ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi. Aku
keluar memanaskan motor sebelum kemudian berangkat. Di jalan, Yudi, Kholil, dan
Eirfan memilih berjalan kaki untuk mencapai lokasi. Yasudah aku
meninggalkannya. Sampai di lokasi, warga RT 23 sudah memulai kerja bakti. Kerja
bakti kali ini, warga sedang membuat saluran air di pinggir jalan supaya aliran
air hujan nantinya terarah dan tidak merusak jalanan. Aku mengambil cangkul
yang sedang menganggur, mulai mencangkul tanah dan menaikannya ke atas roda
sorong. Sambil mencangkul aku mengobrol dengan beberapa ibu-ibu. Mereka
bertanya asalku dari mana, tinggal di mana, dan semacamnya. Aku mengumpulkan
tenaga sejenak dengan berhenti mencangkul dan mulai menjadi driver roda sorong. Selebihnya dari awal sampai akhir kerjaku hanya itu-itu saja.
Waktunya istirahat. Satu dus air mineral dengan roti-roti dan makanan
ringan menemani kami. Bapak di depanku mulai bercerita. Ia menuturkan kalau warga
di RT 23 ini terbilang sedikit dibanding dengan RT lainnya di dusun Ngrancahan.
Hampir semua warga di sini adalah golongan tua, pemuda dan pemudi bisa dihitung jari, sementara anak-anak juga tidak
dapat dikatakan banyak. Tidak berlebihan cerita dari bapak di depanku ini, aku
melihatnya sendiri.
Setelah
istirahat sekitar lima belas menit, kami
semua memulai kembali kerja bakti yang sangat hangat, air
muka warga penuh dengan rasa syukur.
Saat ini memang tidak banyak masyarakat desa yang masih memertahankan budaya gotong
royong. Masyarakat desa sudah ikut-ikutan orang-orang kota, menjadi individualis.
Namun, tidak di desa ini. Warga masih tetap bergotong royong, dan masih
mengamalkan peribahasa “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.”
31-07-2017. 00.27 WIB. Hari ke - lima belas KKN.
Hari ini merupakan salah satu hari
terburuk dalam hidupku. Mungkin terdengar berlebihan, tapi biar aku ceritakan
saja. Aku bangun jam tujuh untuk membantu Isfi dan Risda memasak. Kami sarapan
jam delapan. Selesai makan kami kembali ke kamar masing-masing. Mereka menonton
drama korea, sementara aku kembali
melanjutkan tidur. Setengah satu aku baru bangun, kemudian shalat. Setelah itu
aku menyalakan laptop untuk kemudian menyalin tulisan-tulisan yang belum
kupindah. Jam setengah tiga Eirfan datang, kemarin ia balik ke Jogja.
Tulisan-tulisan tadi belum selesai kusalin dan aku malah mengajak Eirfan ke
warung di perempatan Tugu Semar untuk membeli air mineral, kebetulan di posko
habis.
Tak terasa sudah ashar. Setengah
empat aku mandi dan bersiap berangkat ke TPA, karena memang sekarang jadwalku
mengajar. Sejam kemudian aku berangkat. Sampai di TPA suasana hening, belum ada
yang datang kecuali aku yang membonceng Atika. Lima belas menit berlalu,
akhirnya tiga anak perempuan datang. TPA masih belum dimulai. Jam lima, datang
dua orang anak laki-laki dan TPA pun dimulai seadanya. Lima menit aku mengajar
ngaji bocah kelas tiga MIN, ia bilang ingin berhenti untuk melanjutkan bermain.
Ya sudah aku membiarkannya. Magrib datang dan kami shalat berjamaah di mushola.
Sepi sekali TPA hari ini.
Tiba di posko, aku langsung membeli galon
atas instruksi teman-teman. Galon selesai. Aku memasak dengan Isfi dan Risda.
Setengah delapan masakan selesai, hasilnya terong balado, tumis jamur, telur
goreng dan kerupuk. Makan malam selesai. Kami menunggu tetangga. Tetangga
datang jam setengah sembilan, rapat persiapan untuk acara tujuh belas agustusan
dimulai. Agenda rapat ini adalah untuk membicarakan masalah panitia perlombaan,
jenis lomba, dan sumber dana. Satu setengah jam kemudian rapat selesai. Di
susunan panitia terpilih Muza seagai Ketua, Fitri sebagai Bendahara, dan Malik
sebagai Sekretaris. Untuk jenis lomba, yang pertama balap karung, pecah air,
masukin paku, estafet air+tepung, makan kerupuk, lari kelereng, joged balon,
dan berseragam. Total anggaran belanja senilai empat ratus ribu rupiah, dan
untuk sumber dana berasal dari iuran kelompok. Sudah kubilang membosankan
bukan?
01-08-2017. 22.00 WIB. Hari ke - enam belas KKN.
Bulan baru di tahun yang sama tidak
memberikan efek apa pun terhadap kinerja kelompok, terutama aku. Semakin hari
aku malah semakin tak mengerti, sebenarnya KKN ini untuk apa? LP2M bilang KKN
adalah tempat untuk membumikan ilmu-ilmu yang sudah kita dapat ke masyarakat.
Jika begitu, maka pertanyaannya adalah: apakah cukup hanya dengan waktu empat
puluh lima hari? Terlalu mengada-ada! Menuntut mahasiswa harus inilah, itulah,
beginilah, begitulah, harus ini, harus itu, harus gini, harus gitu. Semua hanya
omong kosong. Seorang bapak dari RT 24, aku tak tahu namanya, pernah bilang
“pemberdayaan masyarakat itu adalah suatu kenistaan.” Aku baru mengerti
maksudnya.
Pemberdayaan memang suatu kenistaan.
LP2M di kampusku baru mengumumkan kelompok seminggu sebelum KKN. Lalu dengan
tanpa merasa berdosa mereka meminta agar mahasiswa melakukan ini, itu, seperti
ini, seperti itu, mengatasnamakan pemberdayaan masyarakat. Mereka mewajibkan
kami membikin program-program pemberdayaan. Mana bisa dengan waktu empat puluh
lima hari? Hidup itu seperti ilmu Geologi, semuanya hanya tentang tekanan dan
waktu. KKN ini harusnya dihapuskan,
buang-buang waktu saja. Kalau tidak, waktu KKN diubah jadi dua belas bulan
alias dua semester. Empat puluh lima hari tidak akan pernah mampu untuk sekadar
mencapai permukaan masyarakat. Masih, masih sangat jauh. SANGAT SANGAT JAUH!
02-08-2017. 23.09 WIB. Hari ke - tujuh belas KKN.
Rabu, di hari ke tujuh belas ini aku
bangun jam setengah delapan, itu pun karena aku ingat ada kerja bakti di balai
desa. Tiba di balai desa, kerja bakti sudah dimulai. Pak Sugit alias Pak Kades
turun langsung memimpin perangkat desa bekerja. Ia tak banyak bicara, menunjuk
kesana kemari, atau mematung memerhatikan dari kursinya. Ia memberi teladan
sekaligus panutan bagi jajarannya. Aku kemudian bergabung, membersihkan rumput
dengan arit pinjaman. Setelah dua jam
membersihkan rumput, kami melanjutkan menghiasai balai desa dan jalan di
sekitarnya dengan memasang umbul-umbul. Peringatan Hari Kemerdekaan sudah dekat.
MARI BUNG REBUT KEMBALI!
03-08-2017. 22.34 WIB. Hari ke - delapan belas KKN.
Dari malam sebelumnya tubuhku sudah
mulai terasa aneh. Puncaknya hari ini aku baru bangun jam sebelas. Itu pun
dibangunkan teman-teman untuk makan. Aku ke kamar mandi mencuci muka. Pagi ini,
tubuhku mulai terasa mendingan setelah tidur melebihi batas maksimal. Hanya
masih tersisa pusing. Kebetulan hari ini teman-teman memasak sup, “Spesial buat
kamu.” Mereka terkekeh.
Selesai makan malam aku tetap di
ruang tengah mengobrol dengan Isfi dan Risda sampai berbusa. Lelah, mereka
masuk kamar untuk menonton drama korea, sementara aku hanya duduk di ruang tamu
menahan pusing.
04-08-2017. 21.43 WIB. Hari ke - sembilan belas KKN.
Di watu amben :
Aku belum pandai untuk mengasmara, mungkin untuk saat ini
Jadi kapan kita kencan?
Terserah kau suka atau benci
Gramedia? Togamas?
Apa yang bikin kamu tertarik menonton sebuah film Indonesia?
Perjuangan tanpa sekat gender
Merawat hak-hak perempuan dan tata Negara
Toh semua bisa dimonopoli seidealis apapun ia
Indonesia dalam api dan bara
Terangkanlah!
Tidak takutkah kau akan penghakiman dirimu nantinya?
Cukup, ini yang terakhir
Orang-orang terbungkam
Di celah kesibukan bulan ini
Ayo tunjukkan rasa meski sederhana
Jangan minta ringankan bebanmu, tapi kuatkanlah pundakmu
Kau akan menang pada akhirnya
Bersabarlah!
Demikianlah manusia, Tora
Di perempatan gunung ireng kau menanyakan alamat
Bismika!
05-08-2017.
22.54 WIB. Hari ke - dua puluh KKN.
Dua puluh, program kerja kelompok kami yang ketiga akhirnya
sukses dieksekusi. Pagi aku bangun jam enam, memaksakan diri ke kamar mandi.
Hanya mencuci muka dan sikat gigi. Aku mengganti pakaian, jeans, dan kaos
oblong dilapisi jas almamater. Sebuah rutinitas, mengajar di TPA. Sejam
kemudian TPA selesai. Di dapur teman-teman menyiapkan konsumsi untuk tamu
undangan. Kacang rebus, kue kering, telo goreng,
pisang goreng, dan agar-agar sudah siap. Tak lupa, mereka juga memasak untuk
kami semua. Jam delapan masakan siap. Teman-teman mengajakku makan, tapi aku
sama sekali tidak bernafsu.
Aku mengabaikan teman-teman dengan makanannya. Di kursi
depan aku mereka-reka akan seperti apa jadinya acara nanti. Apakah lancar?
Banyak masalah? Atau tak ada satu pun warga yang datang? Wallahu a’lam. Aku hanya cemas membayangkannya. Sedang aku melamun,
Aweng datang menunjukan rasa solidaritas antar kelompok. Kami mengobrol.
Obrolan ini sangat tidak jelas bagiku, karena pikiranku tak ada dalam obrolan.
Aku melihat jam di hp untuk kesekian kalinya. Sepuluh menit lagi jam sembilan,
acara akan dimulai. Belum ada yang datang. Tik-tok…
Tik-tok… Tik-tok. Masih belum ada yang datang. Dari arah barat muncul motor
berplat AA melaju pelan. Pengendara yang berpakaian rapi itu sesekali menengok
kiri-kanan memerhatikan rumah-rumah. Motor melewati posko. Aku memerhatikan
dari kejauhan. “Dia orangnya!” Aku lari ke jalan sembari berteriak melambaikan
tangan “Pak! Pak!” Seratus meter di depan, motor itu berhenti, menengok, dan
motornya berbalik.
Di ruang tamu, aku, Aweng dan Pak Anto mengobrol setelah
memperkenalkan diri masing-masing. Ia lulusan S1 pertanian UMY, pernah bekerja
di beberapa provinsi di Pulau Jawa, dan cukup lama menetap di pulau Kalimantan.
Sekarang, ia bersama istri dan anak tinggal di Magelang. Pak Anto juga
menceritakan bahwa saat dirinya kuliah ia mengambil jurusan yang salah,
pertanian.
06-08-2017. 23.32 WIB. Hari ke - dua puluh satu KKN.
Bola voli merupakan salah satu
olahraga populer di negeri ini. Meskipun gelar primadona masih disandang sepak
bola, tapi pergerakan dan eksistensi bola voli tak bisa dipandang dengan mata
sebelah. Di Ngrancahan, dusun tempatku KKN, bola voli adalah raja dari segala
raja. Pernah waktu itu saat mengajar TPA, aku bertanya pada anak-anak apa
cita-cita mereka. “Jadi pemain voli kak!” jawab mereka serempak. Berbicara
mengenai bola voli di dusun ini ibarat membicarakan papan tulis di sebuah
kelas, pasti ada dan sangat berguna, mau itu hitam atau putih. Desa Pengkok
berisi enam dusun, dan tiap-tiap dusun memiliki lapang volinya sendiri.
Ngrancahan salah satunya. Hampir setiap malam para pemuda dan remaja berlatih
fisik dan teknik. Terus mengasah kemampuan, agar kapan pun mereka bertempur
tidak akan ada kata ‘tidak siap.’
Menjelang acara tujuh belasan,
banyak sekali acara di desa Pengkok ini. Turnamen bola voli salah satunya, dan
kali ini yang menjadi penyelenggara sekaligus tuan rumah adalah dusun Srumbung.
Tadi pagi saat kerja bakti menggali selokan, pak dukuh meminta kami untuk
datang menonton memberi dukungan. Dengan senang hati aku dan teman-teman mengiyakan
permintaannya. Malam hari. Setelah selesai makan malam kami semua berangkat
menuju Srumbung. Kami sampai. Turnamen ini terorganisir dengan baik dan rapi.
Sebelum masuk kami membayar parkir, dan panitia mengarahkan tempat untuk
memarkir. Ramai sekali di sini. Semua kalangan tumpah ruah menonton. Mulai
tua-muda, pria-wanita, besar-kecil, para jomblo, single, HTS, LDR, digantung,
diselingkuhi, susah move on, dan berbagai jenis hubungan lainnya juga ikut
meramaikan suasana. Kami duduk di tribun sederhana yang terbuat dari bambu.
GAME ON!
Ngrancahan melawan Kalinampu.
Menurut rumor yang beredar di jalanan dan di dusun, Ngrancahan dan Kalinampu
merupakan musuh bebuyutan. Ibarat Persib-Persija, Arema-Persebaya,
Madrid-Barcelona, Arsenal-Chelsea, MU-Liverpool, Indonesia-Malaysia,
Jerman-Inggris (saat perang dunia dua), Jepang-Amerika (saat perang pasifik),
Rusia-Amerika (saat perang dingin), dan lebih parah seperti Israel dan
Palestina, tidak pernah selesai. Benar saja. Rumor yang beredar bukan isapan
jempol belaka. Set pertama baru dimulai dan kedua tim langsung saling jual beli
serangan. Kejar-kejaran angka begitu sengit dan selisihnya tak pernah lebih
dari satu atau dua poin. Loncatan, pantulan bola, ayunan tangan, smash, block,
teriakan, keringat, menjadi adegan yang benar-benar indah dan menghibur. Kedua
supporter dari masing-masing tim juga tak mau kalah. Mereka bernyanyi,
berteriak-teriak tanpa henti. Termasuk aku. Ngrancahan memenangkan set pertama.
Sebuah awal yang bagus. Namun, selanjutnya keadaan berubah. Dari set kedua
sampai empat Kalinampu benar-benar menguasai jalannya pertandingan. Mereka
memenangkan tiga set akhir. Mereka tidak menang mudah, hanya saja malam ini
alam berkehendak lain.
Pada akhirnya masalah menang-kalah
bukan lagi menjadi hal yang penting. Setelah pertandingan selesai para pemain
dari kedua tim bersalaman hangat berbalut senyum. Tidak pernah ada dendam. Para
penonton pun membubarkan diri meninggalakan arena dengan hati riang. Mereka
juga sama tidak pedulinya siapa yang jadi pemenang. Aku menyadari satu hal,
bahwa sebuah pertandingan bukan hanya sekadar ajang untuk unjuk kehebatan dan
kemampuan belaka. Lebih dari itu, bola voli adalah ajang unutk silaturahmi.
Olahraga adalah silaturahmi.
07-08-2017. 21.49 WIB. Hari ke - dua puluh dua KKN.
Malam hari, di ruang tengah posko
tetangga. Ini buatmu Re:
Aku terbaring
di kamar
menanti
lampu
padam
08-08-2017. 23.07 WIB. Hari ke - dua puluh tiga KKN.
Malam ini
bikin bosan
Dua
orang duduk di luar
Merayu
angin
Tiga
orang di dalam kamar
Hanya
cekikikan
Dan
aku hanya mengeluh
Tiba-tiba
Dari
ruang tengah Tika teriak
Makan
malam digondol kucing
09-08-2017. 00.48 WIB. Hari ke - dua puluh empat KKN.
Kah?
Masih
ngobrol dengan Minke?
Sudah
jarang. Tapi tinggal sedikit
Oh
ya, aku lupa
Du
dudu du duuu
Masih
terobsesi dengan hotel-hotel?
Maksudmu?
Tak
ada hotel kau tak hidup
Tidak,
lagi pula mereka suka masakanku
Cabe,
bukan masakan. Bikin hati jadi pedas
Tak
usah mengira-ngira. Tidak baik
Ya
memang
Omong-omong
banyak terima kasih untuk lagunya
“Well maybe I’m a crook. For
stealing your heart away!”
Sama-sama.
Sudah lihat videonya? Kau sekali bukan?
Sudah.
Aku tak mengerti
Menyebalkan!
Setidaknya kamu mengerti liriknya
Thanks a bunch!
Dan sialnya lagu macam itu bisa menempel di kepalaku
Ups!
Mungkin memang merepresentasikan kamu
Syukurlah
hanya representasi. Bukan kenyataan
Lagi
pula itu sudah menjadi kenyataan
Tidak.
Representasi hanya apa yang ingin dilihat orang dari orang
Hal
yang mewakili. Bahkan sudah terjadi
Kau
harus jadi pengalam jika ingin tahu apa itu kenyataan
Tak
usah! I put myself first
Belum
tidur, kenapa?
Sedang
terbangun saja. Sebaliknya?
Merayu
angin kerjaanku tiap malam
Nikmatilah.
Jangan mengundangku
Aih,
aku memang tidak mengundangmu
Kau
mengundangku. Sudahlah biar angin itu berlalu
Angin
memang selalu berlalu
Kepergiannya
hanya terasa beberpa detik
Tidak.
Aku masih merasa dingin
Itu
bukan ulahku
Tak
peduli yang mana, aku tetap membutuhkannya
Aku
rasa makhluk sebebasmu akan bosan jika tidak terhempas angin
Ya,
jadi puting beliung
Yang
itu bukan amarahku
Aku
membicarakan rotasi, bukan amarah
Nikmati
saja kebahagiaan barumu
Tak
pernah ada kebahagiaan yang baru. Kebahagiaan selalu seperti itu
Semaumu
Rid. Syukur kau masih bahagia
Ya
memang. Lagi pula angin itu hanya fiksi
Angin
itu ada. Sangat empiris
Kita
tak pernah benar-benar melihatnya
Yang
kita pedulikan hanya ulahnya
Kasat
mata tapi terasa
Kau
sangat keliru memaknainya
Tak
perlu kau membenarkanku
Tidak!
Hanya saja angin yang kita maksud berbeda
Ah
betapa egoisnya yang satu ini
Egois.
Dinding pembatas itu
10-08-2017. 01.50 WIB. Hari ke - dua puluh lima KKN.
Angin
malam menampar
Imaji
Meruntuhkan
mimpi
Siang
hari
11-08-2017. 22.43 WIB. Hari ke - dua puluh enam KKN.
Hari ini minggu kedua di bulan
Agustus. Tahu kan artinya? Ya, salah satu peristiwa penting terbentuknya Negara
Indonesia terjadi di bulan ini. PROKLAMASI. 17 Agustus 1945 Bung Karno tampil
di depan corong microphone membacakannya
mewakili rakyat. Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan fisik yang dilakukan
oleh Belanda dan Jepang. Mulai hari itu, berdirilah sebuah bangsa yang lahir
dari tumpukan tulang, lautan darah, sungai air mata, gurun kepedihan, dan
kerelaan untuk berkorban. Semoga kalian para pahlawan bangsa, dari mulai
petani, buruh, ajengan, kyai, pendeta, pastur, biksu, islam, protestan,
katolik, kong hu cu, hindu, buddha, nasionalis, agamis, komunis, liberal,
sosialis, kapitalis, kaya, miskin, tua, muda, bodoh, pintar, dan kalangan yang
tak bisa kusebut lagi, tersenyum di akhirat dengan Tuhan kalian masing-masing.
Terima kasih. Karena berkat kalianlah aku punya waktu untuk menulis.
Bulan Agustus selalu menjadi awal
untuk bercermin dan merenungkan sejarah bagaimana kita merdeka. Apa kita hanya
merdeka secara fisik? Atau sudahkah kita sebagai anak bangsa mengisi kemerdekaan
ini dengan hal-hal berguna, bermanfaat? Sebaliknya mungkin? Belum sama sekali?
Jadi memang kita belum merdeka sepenuhnya? Kemerdekaan bangsa kita hanya
parsial? Semua hal di dunia ini memang selalu mungkin. Sebagai contoh:
Indonesia memiliki sumber daya alam yang amat sangat melimpah, laut misalnya.
Indonesia memiliki lautan yang sangat luas, tapi kenapa bangsa ini masih
mengimpor garam dari Negara lain? Koes Plus juga bersenandung bahwa tanah kita
itu subur, tongkat kayu saja bisa jadi tanaman. Namun, kenapa di pasar-pasar,
atau swalayan, sayur mayur juga diimpor asing? Buah-buahan juga asing. Beras
asing, gula pasir asing, kedelai asing, dan mungkin rempah-rempah juga asing?
Padahal karena merekalah bangsa ini dijajah. Kenapa harus serba asing? Pemerintah
di mana? Pemerintah kenapa? Pemerintah bagaimana? Pemerintah kapan? Pemerintah
apa? Apa pemerintah?
Terlalu rumit memang masalah-masalah
yang dihadapi bangsa kita. Pakailah filososfi ‘Sanajan teu lumpat, tapi ulah cicing’ artinya meskipun kita tidak
berlari, tapi setidaknya kita tidak diam. Mulai saja dari hal-hal terkecil yang
bisa dilakukan. Mungkin bisa dengan mendoakan. Saling sapa jika papasan di
jalan, hangat. Bergotong royong, tidak merusak, manfaatkan sampah di sekitar,
kurangi pemakaian tissue, gunakan
sapu tangan. Tanam lidah buaya di depan rumah, jaga ekosistem sungai dan tanah,
pakai pupuk organik, jangan menyetrum ikan di sungai, banyak minum air putih,
tidur yang cukup, olahraga yang rutin, biasakan puasa senin kamis. Keramas
minimal dua kali sehari, siram bunga dan tanaman, kuras bak mandi dua kali
seminggu, belajar mencuci sendiri, masak sendiri, mainlah ke kebun-kebun dan
sawah, kurangi tidur siang. Bebaskan makanan dari micin, sering-seringlah
berkumpul, mengobrol, tertawa. Sarapan sebelum jam sembilan, aturlah
karbohidrat, jangan takut kena panas, kena hujan, kena lumpur. Biasakan jalan
kaki, bangun pagi, mandi pagi, sikat gigi, bersihkan kamar sendiri. Silakan
kalian tambah sendiri sisanya. Yang terakhir dariku ialah: membaca!
12-08-2017. 22.02 WIB. Hari ke - dua puluh tujuh KKN.
Dua puluh tujuh. Angka tujuh. Masih
ingatkah dengan magis angka tujuh? Bahwa angka tujuh itu keramat? Atau
setidaknya, biasanya ada hal-hal yang menarik tentang sesuatu yang berkaitan
dengan angka tujuh di hidupku. Semua tampak jelas buatku sekarang. Hari ini
menjadi salah satu hari tersibuk (baca: merasa berguna) di antara hari-hari KKN
ku yang lain.
Pagi hari aku sudah bangun jam enam
untuk mengajar TPA di MIN. Sejam berlalu. TPA selesai. Aku langsung menukar
pakaian, lalu buru-buru ke dapur, mencuci piring. Seharusnya aku mencuci piring
malam tadi. Benar kata orang Jepang, ‘Menunda
pekerjaan sama dengan menambah pekerjaan’ Piring-piring kotor berbaris
dengan rapi. Tak hanya piring, wajan-wajan, mangkuk-mangkuk, sendok-sendok, dan
lain-lain juga ikut-ikutan berbaris, mengantri giliran. Aku mulai mencuci. Dan
kalian tahu? Pinggangku sempat pegal karena harus duduk mencuci selama empat
puluh menit. EMPAT PULUH MENIT! Bandingkan, aku hanya butuh waktu sekitar tiga
menit untuk sekali shalat. Dalam sehari shalat terdiri dari lima waktu. 3x5 =
15. Dan lucunya, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencuci piring
dibandingkan bersujud menghadap Sang Pencipta. Namun, bukannya kebersihan itu
sebagian daripada iman?
Ibadah cuci piring selesai.
Selanjutnya menguras bak mandi yang sudah kotor tidak karuan. Dua minggu tak
dikuras. Alhasil berbagai jenis lumpur dan lumut berkembang biak dengan sangat
sehatnya. Tentu, pertama aku menghabiskan air di dalam bak. Bak sudah kosong.
Aku masuk ke dalam bak yang cukup besar itu. Kupikir inilah cara paling efektif
untuk menguras bak yang pernah ditemukan umat manusia. Aku mulai menggosok,
menyikat, atas-bawah, kanan-kiri, depan-belakang sampai pusing. Ini disebabkan
keramik bak yang sudah aku gosok dan sikat masih terlihat kotor. Noda di
keramik semacam sudah menjadi karat. Sekali lagi pepatah Jepang itu benar.
Kira-kira setelah dua puluh menit mengurus bak ini aku pun menyerah. Sudahlah
bukan mengaji ini, tidak harus benar. Aku kembali mengisi bak dengan air sampai
penuh. Ibadah gosok menggosok dan sikat menyikat bubar. Tentunya kekalahan ada
di pihakku.
Serba kebetulan memang. Hari ini
jadwalku piket kebersihan. Sial! Aku harus membersihkan dan membereskan rumah
yang seperti kapal pecah ini. Dari kamar mandi aku menyebrang ke ruang tengah.
Menyapu lantai ruang tengah, ruang tamu, dan teras di luar. Keadaan rumah
kembali kondusif. Barang-barang sudah di tempatnya masing-masing, dan debu pun
sudah enyah. Ember kosong aku isi air, lalu kutambahkan cairan pewangi dan
pembersih lantai. Kain pel aku
cemplungkan dan mulailah ibadah mengepel lantai. Satu setengah jam untuk tiga
aktivitas.
Aku keluar, duduk di bangku kayu
untuk istirahat barang sebentar. Tak sendiri, aku ditemani Wiji Thukul beserta
puisi-puisinya. Udara sangat sejuk, angin sepoi-sepoi, awan ceria, matahari
tersenyum, dan nenek tua di rumah depan juga tersenyum. Alangkah indah pagi
ini. Dari banyaknya puisi yang luar biasa, ada satu puisi yang dipersiapkan
Wiji Thukul untuk orang-orang sepertiku. Puisinya berjudul ‘Di bawah selimut kedamain palsu’ Empat baris awal puisi ini
langsung mempermalukanku, dan menyuruhku untuk kembali merenung.
Apa guna punya ilmu
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam
melulu
Empat baris kata-kata itu membikin keimananku terhadap
buku-buku goyah. Tak tahu kenapa. Rasanya aku seperti sedang di pesawat dengan
ketinggian beribu-ribu meter di atas tanah, lalu pesawat yang kutumpangi
bertabrakan dengan becak. RUMIT. Sedang aku bertanya-tanya, Tika keluar
menyuruhku untuk cepat-cepat makan. Pertanyaan itu pun belum berhasil kujawab.
Aku harus mengisi perut. Kalau tidak, pertanyaan itu akan tetap menjadi sebuah
pertanyaan.
Setelah makan, sekitar jam sepuluh
aku ke posko sebelah. Kholil, Rexy, dan Yudi sudah menunggu. Kami akan memasang
hiasan untuk memeriahkan acara tujuh belasan di lapangan dan di jalan. Setelah
mengopi dan mengasap, kami berlima dengan tambahan Eirfan yang baru datang
mulai terjun berperang. Pertama, kami memasang bendera-bendera kecil yang
diikatkan ke benang nylon sepanjang
lima meter. Benang-benang yang penuh bendera kami rentangkan membentuk persegi
panjang, sesuai ukuran lapangan. Kami mengikatnya satu per satu ke pohon-pohon
di pinggir lapangan. Lumayan menguras tenaga karena cuaca hampir mencapai tiga
puluh enam derajat. Lapangan selesai. Kami beralih menghias jalanan. Kalau
menghias lapangan waktu yang kami gunakan sangat efektif, di jalan urusannya
lain. Waktu kami banyak terhenti karena arus kendaraan bolak-balik yang memang
tak akan pernah bisa libur. Hanya zaman batu yang bisa menghentikan semua
kendaraan-kendaraan ini. Hasilnya, jam dua siang bendera-bendera kecil itu
berkibar. Aku mengeluh. Tapi si Malik nyeletuk ‘Ini belum seberapa kalau dibandingkan dengan perjuangan orang-orang
yang memerdekakan bangsa ini.’ Aku hanya diam tak melawan.
Aku kembali ke posko. Telentang di
atas ubin. Sejuk. Aku menyempatkan diri untuk tidur karena kepalaku sudah
sangat pusing dicocor sinar matahari. Sebelum tidur aku berpesan pada
teman-teman untuk membangunkanku jam setengah tiga. Itu kulakukan karena
lagi-lagi pepatah orang-orang Jepang. Katanya tidur siang jangan lebih dari
tiga puluh menit. Aku melanggar pepatah dari Jepang ini. Setengah tiga lewat
aku baru bangun. Kemudian ke kamar mandi berwudhu untuk dilanjutkan shalat
dzuhur yang sudah sangat telat. Dunia masih terlalu penting buatku ternyata.
Tak lama setelah shalat dzuhur selesai, adzan ashar berkumandang. Sekalian saja
aku langsung melanjutkan shalat ashar. Tepat setengah empat, aku kembali ke
lapangan.
Di lapangan suasana sudah sangat
ramai sekali. Anak-anak mendominasi. Kejar-kejaran, kesana kemari, teriak,
tertawa, bertengkar, ya bocah-bocah itu. Aku dan Kholil menyiapkan sound untuk komentator. Setelah selesai,
aku, Kholil, serta Yudi menyiram lapangan tanah ini supaya tidak kebul. Lapangan baru kondusif jam empat.
Lomba pun dimulai. Kecepatan dan kerapihan memakai seragam, tajuk lomba
pembuka. Lomba ini menyasar anak-anak TK, PAUD, dan bocah MI/SD kelas dua.
Sepele, tapi saat lomba dimulai perutku tak kuat menahan tawa melihat
bocah-bocah kecil itu memakai seragam tanpa bantuan orang tuanya. Aul, salah
satu peserta teriak-teriak memaki seragamnya sendiri dengan aksen Jawa kental ‘Iki angel! Iki angel!’ Bayangkan! Lomba
pembuka selesai. Kemudian berikutnyya dilanjut lomba makan kerupuk. Lomba makan
kerupuk merupakan salah satu lomba standar untuk acara tujuuh belasan selain
balap karung dan panjat pinang. Peserta lomba makan kerupuk ini maksimal
diikuti oleh kelas tiga MTs atau sederajat. Banyak sekali anak-anak yang
mengikuti lomba ini. Sampai babak penyisihan saja butuh waktu sejam lebih. Dari
puluhan anak, akhirnya enam orang berhasil melaju ke babak final. Dan selesai.
Keluarlah tiga anak sebagai juara satu, dua, dan tiga. Aku tak ingat nama-nama
mereka. Aku benar-benar pemalas bukan?
13-08-2017. 00.16 WIB. Hari ke - dua puluh delapan KKN.
Lemas sekali aku malam ini. Besok aku ceritakan
bagaimana.
Hari ini aku dan teman-teman masih mengurusi
lomba untuk anak-anak di dusun. Lomba dimulai jam delapan, tapi baru bisa
dimulai jam Sembilan. Aku dan teman-teman mengikuti kerja bakti terlebih dahulu
sebelum perlombaan. Setelah kerja bakti, aku balik ke posko untuk makan. Menu
hari ini nasi goreng. Urusan dengan nasi goreng selesai. Aku menuju lapangan. Sound sudah dipasang, musik sudah
diputar, tempat pendaftaran lomba siap, peserta ngeyel susah diatur, dan perlombaan kami mulai. Lomba pembuka di
hari yang kedua ini adalah lari kelereng. Setiap babak berisi enam orang.
Dikarenakan jumlah peserta membludak. Lomba lari kelerang dibagi menjadi tujuh
babak. Lari kelereng selesai. Selanjutnya, joged balon. Peserta harus
berpasang-pasangan dan menempelkan balon yang sudah diisi air di keningnya masing-masing.
Mereka harus berjalan ke sisi lain lapangan, tapi saat musik berbunyi mereka
diwajibkan untuk berhenti dan berjoged. Joged balon selesai. Kemudian balap
karung. Kami sedikit memodifikasi lomba ini. Kalau biasanya peserta masuk ke
dalam karung dengan berdiri, yang ini kami mengharuskan peserta untuk masuk ke
dalam karung berjongkok. Seluruh tubuh peserta berbungkus karung, kecuali
kepala. Ujung karung pun kami ikat dengan tali rapia. Para peserta juga
diharuskan memakai helm berkaca. Mirip burung puyuh. Perutku sampai sakit
karena tertawa. Balap karung selesai.
Jam sebelas lomba selesai. Kami
beristirahat untuk maksiat. Makan, Istirahat, dan Shalat. Anak-anak pun disuruh
berkumpul kembali jam satu nanti.
Lomba pembuka kedua yaitu memasukan
paku ke dalam botol. Kalau biasanya lomba ini dikerjakan individu, yang ini
kelompok. Berisi empat orang pemain dari tiap kelompok dengan paku di
tengah-tengah mereka diikat tali rapia. Paku ke botol selesai. Selanjutnya
estafet air campur tepung. Lagi-lagi kelompok. Satu tim teridiri dari empat
orang. Mereka harus duduk berbanjar, tiap orang diberi gelas bekas air mineral.
Mata mereka ditutup kain. Di depan ada satu baskom berisi air campur tepung. Di
belakang ada satu baskom untuk menampungnya. Oh ya, peserta duduk saling
membelakangi. Bayangkan apa jadinya! Terakhir lomba pecah air. Bayangkan saja
lomba ini seperti yang sudah-sudah. Semua selesai. Saat aku melihat jam, sudah
setengah lima.
14-08-2017. 23.38 WIB. Hari ke - dua puluh sembilan KKN.
Olahraga tak dapat dipisahkan dengan
yang namanya supporter atau fans. Apa pun olahraganya. Individu atau kelompok.
Semua punya fans dan supporternya masing-masing. Sepak bola misalnya. Tiap klub
punya kelompok supporter. The Gooners nama fans Arsenal. Milanisti
untuk AC Milan, Madridista milik Real Madrid, Bobotoh keur Persib Bandung, dan aku tak akan
menuliskan semuanya. Kalian saja yang mengisi. Begitulah hubungan olahraga
dengan supporter. Sangat erat dan tak bisa dipisahkan. Malam ini aku
bermetamorfosa menjadi seorang supporter. Bukan sepak bola, melainkan
supporter tim bola voli dusun tempatku tinggal. Seperti yang telah aku
ceritakan di hari ke dua puluh satu, Ngrancahan mengikuti turnamen voli di
dusun Srumbung. Ajang ini diselenggarakan dalam rangka menyambut dan memeriahkan
hari kemerdekaan negeri ini.
Setelah dikalahkan Kalinampu di
pertandingan pertama, Ngrancahan berhasil bangkit dari kubangan lumpur. Di
pertandingan kedua, Ngrancahan mengalahkan Panjatan dengan mudah. Tiga set
langsung. Selanjutnya, Ngrancahan berhasil mengatasi perlawanan Ngembes sebelum
akhirnya masuk delapan besar dan haru berhadapan dengan Salak. Perlu diketahui,
Kalinampu disikat tiga set langsung oleh Salak di pertandingan menuju dekapan
besar. Lawan kuat menghadang Ngrancahan. Pertandingan dimulai. Benar saja,
Salak langsung mengendalikan permainan dan memenangkan set pertama. Satu nol
Salak memimpin. Di set kedua, pertandingan berlangsung sangat ketat. Saling
berbalas smash, jual beli serangan,
dan tipuan-tipuan menjadi bumbu penyedap mata. Setelah melewati semua itu,
Ngrancahan berhasil merebut set kedua. Sama kuat, satu sama. Mental pemain
Ngrancahan perlahan mulai kembali ke jalur yang benar. Set ketiga,
peretandingan semakin seru saja. Para pemain mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Fisik mereka dituntut untuk selaras dengan otak. Harus bisa memanfaatkan
peluang sekecil apapun. Konsentrasi harus selalu terjaga dengan baik agar tak
membuat kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Para pemain juga dituntut harus
jeli mengantisipasi startegi lawan. Para pemain Ngrancahan berhasil melakukan
itu semua. Hasilnya set ketiga kembali dimenangkan Ngarancahan. Kedudukan
berbalik, dua-satu. Ngrancahan memimpin. Mental para pemain Salak terancam.
Mereka harus memenangkan set keempat untuk menyamakan kedudukan, sebelum
diharuskan adanya set kelima. Mereka dalam tekanan. Sebaliknya, kalau di set
keempat ini Ngrancahan berhasil menang, maka otomatis mereka berhak lolos ke
babak final. Ngrancahan berada di atas angin. Kesempatan bagus.
Set keempat dimulai. Ngrancahan
langsung tancap gas dengan mengontrol jalannya pertandingan. Terlihat
pemain-pemain Salak nervous. Mereka
sering salah komunikasi, dan banyak melakukan kesalahan-kesalahan tidak perlu.
Situasi ini benar-benar dimanfaatkan dengan baik oleh Ngrancahan. Para pemain
Ngrancahan terus menekan, membombardir dengan smash-smash keras, bola-bola tipuan, blocking rapat, dan dikombinasikan dengan komunikasi antar pemain
yang sangat baik. Alhasil, Ngrancahan dengan gagah berhasil menyudahi
perlawanan Salak. Pertandingan usai. Skor akhir tiga-satu. Ngrancahan berhak
melaju ke babak final dan akan bertemu dengan Waduk, tim kuat lainnya. Mari
kita uji di babak final: apakah Waduk memang sehebat yang diceritakan
orang-orang?
Di manakah aku dan teman-teman
sepanjang pertandingan ini? Aku dan teman mengisi tribun (baca: tempat
duduk sederhana) sebelah timur. Tidak hanya kami, warga Ngrancahan, terutama
pemuda dan pemudi dusun menurunkan alat perang terbaiknya. Peralatan drum.
Tempat duduk paling depan dan kedua setelahnya ditempati ibu-ibu dan para
pemudi. Di tempat ketiga ialah di mana penabuh genderang perang berkuasa.
Sementara sisanya, sekitar lima belas orang berdiri paling belakang. Termasuk
aku. Sepanjang pertandingan, kami tak henti-hentinya berteriak, bersorak sorai
menyanyikan semacam irama dan lagu-lagu sederhana. Para penabuh genderang
perang juga tak pernah lelah melakukan tugasnya. Semakin malam mereka semakin
menggila. Kami bernyanyi diiringi irama drum. Meloncat, membikin koreo dengan
tangan, dan terus seperti itu selama pertandingan. Para pemain juga balik
memberikan dukungan tepuk tangan dan jempol saat jeda time out. Di pinggir lapangan kami semakin menggila, tak mau kalah
dengan penabuh genderang perang itu. Tak peduli nafas pengap, dan suara habis.
Tetap saja kami bergembira. Saking kerasnya teriakan kami, teriakan-teriakan
supporter Salak tenggelam dalam irama drum dan nyanyian kami. Tidak ada apa-apanya.
Hasilnya, selanjutnya mereka hanya diam. Sadar suara mereka tak mampu bersaing.
Selama itu aku merasakan menjadi bagian dari warga Ngrancahan ini. Aku dan para
pemuda tertawa, teriak, menyanyi sampai serak. Indah sekali kebersamaan ini.
Padahal aku tidak pernah merencanakan semua adegan ini.
15-08-2017.
22.52 WIB. Hari ke - tiga puluh KKN.
Pikiranku
kacau
Jadi tak
bisa menulis
Pikiranku
kacau
Ia hanya
meringis
Pikiranku
kacau
Malam ini
bengis
Pikiranku
kacau
Aku tak
boleh menangis
Pikiranku
kacau
Dan di luar
gerimis
Pikiranku
sempit
Tak punya
duit
Pikiranku
sempit
Tak bisa
bayar kredit
Pikiranku
sempit
Sebab
hutang melilit
Pikiranku
sempit
Aku tak
bisa mengirit
16-08-2017.
23.58 – 11.40 WIB. Hari ke - tiga puluh satu KKN.
Apa benar
kita sudah merdeka?
Tadi pagi
kulihat si Madon merengek
Menangis
minta jajan
Emaknya
bilang: padi kita tak laku le
Kalah
dengan beras Vietnam
Apa benar
kita sudah merdeka?
Kemarin
sore mbah Tumirah melamun
Di
berandanya ia mengeluh
Petugas
rumah sakit menyuruhnya
Mengurus
administrasi dahulu
Apa benar
kita sudah merdeka?
Subuh-subuh
pulang dari pasar
Mbok Inem murka
mengomel
Tempe jadi
mahal katanya
Sebab
kedelai belum datang dari Thailand
Apa benar
kita sudah merdeka?
Siang ini
pak Imin pulang dari sawah
Bu Jum
dengan sigap memberi pak Imin the
Pak Imin
malah meludah
Sebab
tehnya menjadi tawar
Bu Jum
menimpali: gula di warung juga mahal pak
Apa benar
kita sudah merdeka?
Pertanyaan
itu masih harus kita jawab
17-08-2017. 23.50 WIB. Hari ke - tiga puluh dua KKN.
M E R D E K A ! (Bacalah dengan
menggebu-gebu).
72 tahun sudah umur negeri ini,
Indonesia. Jika kita umpamakan, negeri ini harusnya sudah menjadi seorang
kakek. Ia memiliki banyak anak, dan anaknya memberinya banyak cucu. Cucunya
melahirkan anak-anak lagi, dan teruslah seperti itu. Harusnya kakek ini sudah
tidak perlu kerja yang berat-berat. Siram saja bunga-bunga di depan rumah,
duduk santai di beranda dengan teh atau kopi, bersiul dengan burung-burung di
depan, dan semacamnya. Tentunya hal-hal itu dilakukan bersama nenek. Anak-anak
kakek ini harusnya membikin rumah-rumah dekat orang tuanya, biar tiap hari bisa
memanjakan mereka. Mengobatinya kalau sakit, menghiburnya jika sedih,
bersamanya saat diminta, dan terus mendampingi mereka sampai hari akhir
menjemput.
Sedang asik menikmati itu semua,
kakek ini tiba-tiba tersadar. Istrinya telah meninggal saat melahirkan
anak-anaknya yang banyak itu. Ia juga bingung, anak-anak yang dilahirkan
istrinya tak tahu pada kemana. Menghilang. Menurut kabar tetangga, ternyata
anak-anaknya memilih tinggal di negeri-negeri maju macam Singapura, Thailand,
Jepang, Amerika, atau di daratan Eropa. Mereka sedang sibuk bekerja membangun
negeri-negeri itu dengan uang yang dihabiskan si kakek untuk menyekolahkan
mereka. Bingung. Kakek ini tak mengerti. Anak-anaknya yang lain, yang tinggal
di negeri ini malah sibuk mengagumi teknologi, budaya, dan gerak-gerik dari
negeri-negeri yang sedang dibangun saudara-saudaranya. Mereka asik main playstation bikinan Jepang. Berselancar
di facebook, instagram, dan twitter bikinan Amerika. Membeli
mobil-mobil dari Eropa, dan saat lapar, mereka makan beras dari Thailand. Tak
lupa, mereka juga senang sekali berlibur ke Singapura. Mereka lupa mengurus
ayahnya, memanjakannya, memberinya segala hal-hal baik yang bisa mereka
lakukan. Mereka juga lupa berziarah ke makam ibunya. Membersihkan kuburnya, dan
mendoakannya. Anak-anak itu terlalu sibuk untuk melakukan semua itu.
Hari ini, si kakek tua masih
merenung di beranda rumahnya. Bunga-bunga yang selalu menemaninya berkurang.
Sebagian ada yang mati. Halaman depannya yang tadinya taman indah, kini
diselimuti aspal. Kebun di belakang rumahnya sudah menjadi pabrik-pabrik.
Sawah-sawah di samping rumahnya juga sudah ludes, berubah menjadi hotel-hotel
mewah, restoran-restoran mahal, dan mal-mal tingkat tinggi. Sungai di seberang
sana mulai dangkal dan tercemar. Sebab limbah dari pabrik-pabrik, sampah dari
hotel-hotel, dan restoran-restoran itu. Mata kakek ini sudah tidak bisa melihat
hijau, rimbun, dan sejuk. Sekarang yang ia lihat hanya besi-besi, kilatan kaca
dari hotel-hotel, deru mesin kendaraan mondar-mandir, asap-asap knalpot, asap
pabrik-pabrik, dan cuaca juga sudah menjadi panas.
Setelah si kakek menyadari semua
itu, ia menghela nafas panjang. Ia berpikir bahwa sekolah-sekolah tempat
anak-anaknya belajar telah gagal melakukan tugasnya. Mendidik anak-anaknya. Ia
ingin berontak mengembalikan waktu itu, tapi ia sadar dirinya sudah tua renta.
Suaranya sudah terlanjur menipis untuk hanya sekadar menasehati anak-anaknya.
Fisiknya lemah, tenaganya habis. Pikirannya kalut, dan hatinya tercabik-cabik.
Ia mulai menitikan air mata. Berdoa dalam hati, memohon pada Tuhan supaya
anak-anaknya bisa selalu menemaninya sampai ajal menjemput. Ia hanya ingin
anak-anaknya berkumpul bersamanya, mengurusnya. Ia juga ingin melihat
pemandangan indah itu lagi. Halamannya kembali hijau dengan rerumputan,
kebunnya kembali berbuah banyak, sawah-sawahnya kembali menghasilkan padi,
sungai di seberang sana menjadi dalam nan bersih, biar ia bisa memancing kalau
sedang bosan.
Sekarang ia hanya seorang kakek tua
yang sedang duduk menikmati minumannya. Ia sudah tidak terlalu berharap pada
anak-anaknya yang di luar negeri itu. Pun dengan anak-anaknya di dalam negeri
yang lupa mengurusnya. Ia berharap, cucu-cucunya yang dapat mewujudkan
keinginannya itu. Kalau tidak, anak-anak dari cucu-cucunya yang melakukannya.
Atau kalau tidak anak-anaknya dari anak-anak cucu-cucunya yang melakukannya.
Terus, terus, dan terus seperti itu. Sebelum kakek ini menenggak minuman
terakhir di tangannya, sekali lagi ia berdoa, “Semoga aku berumur panjang, biar bisa melihat keturunanku berhasil
melakukannya.”
18-08-2017. 00.57 WIB. Hari ke - tiga puluh tiga KKN.
Malam ini di turnamen bola voli
Srumbung, Ngrancahan berhadapan dengan Waduk di partai final. Semua orang
menyebut ini merupakan partai yang ideal. Hasilnya, tim bola voli Waduk menang
tiga set langsung. Dari awal peluit dibunyikan, mereka terus mendominasi.
Memberi tekanan bertubi-tubi. Tanpa ampun. Ngrancahan hanya bisa merebut
peringkat dua. Namun, ya sudahlah. Lumayan daripada bete.
19-08-2017. 23.37 WIB. Hari ke - tiga puluh empat KKN.
Banyak dosa yang kulakukan hari ini.
Aku ulangi. Aku melakukan dosa-dosa berat hari ini. Aku menyebutnya berat karena
dosa-dosa ini jauh-jauh hari telah kurencanakan dengan sangat matang. Dari
mulai jam, tempat, dan rincian dosa-dosanya. Aku pernah membaca sebuah kutipan,
bunyinya “Jika shalatmu tidak kau jadikan
penghapus dosa, maka dosamu akan menghapus shalatmu.” Hari ini aku membuktikan kebenarannya. Ia mengikuti dan menyalurkan nafsu binatangnya.
Mengabaikan… Tidak. Bukan mengabaikan. Ia jelas-jelas tak bertuhan. Nafsunya
menjadi nafas hidupnya.
20-08-2017. 00.00 WIB. Hari ke - tiga puluh lima KKN.
James Blunt menemaniku dengan
lagunya yang berjudul ‘you’re beautiful.’
Lagu ini sangat berpengalaman untuk menyentuh sisi melankolisku. Betapa!
Seharian tak banyak yang aku
lakukan. Aku bangun jam sembilan. Kemudian mandi, dan membikin coklat panas.
Dari mulai jam sepuluh sampai magrib, aku pergi dengan Zarah. Kami pergi ke
Bogor, Batu Luhur, Bukit Jambul, Tanjung Puting, London, Madidi, Kenya,
Glastonbury, dll, menemaninya mengambil gambar. Tak lupa, di setiap tempat yang
kami singgahi, kami bercinta. Kami bercinta di hutan misterius bukit Jambul, di
pedalaman Kalimantan, di saung belakang rumah, di apartemen, di gurun, dan
kapal yang kami naiki. Di mana pun kami selalu bercinta. Tak
pernah lelah, selalu bergairah, dan sangat memuaskan. Benar-benar luar biasa
hubunganku dengan Zarah Amala ini. Ia gadis seumuran denganku. Bedanya ia tidak
meneruskan kuliah. Sejak lulus dari SMA di Bogor, ia menekuni hobinya, yakni
fotografi. Zarah adalah gadis keturunan Arab dan Sunda. Bayangkan muka Arabnya
dilapisi kulit kuning langsat khas Sunda. Betapa beruntungnya aku ini. Memiliki
kesempatan untuk selalu bercinta setiap saat, kapan pun kami menginginkannya. Di mana pun.
Tak ada jarak. Zarah, terima kasih kau telah datang untukku, menemani sisa
hidupku. Kau adalah orgasme terindah dalam hidup yang pernah kujalani.
Jika kau membaca ini, janganlah
marah. Titipkan saja salamku pada bapakmu Firas dan ibumu Aisyah. Jangan lupa
titip salam juga untuk Abah Hamid dan Umi.
21-08-2017. 22.37 WIB. Hari ke - tiga puluh enam KKN.
MAYASIA alias MALINGASIA alias
MALAYABANGSAT alias MALAYASIALAN, atau entah apapun namanya satu bangsat ini. Harus kita binasakan saja.
Pembinasaan menyeluruh dan sistematis adalah halal bagi bangsat sebangsat mereka. Bangsat tidak tahu malu! Tukang maling. Andai
saja aku Hitler, pasti sudah kumampuskan mereka, seperti saat NAZI membantai
habis jutaan orang Yahudi. Memasukannya ke kamar gas bercun, atau menjadikannya
makanan anjing, buaya, singa, dan semacamnya.
Bangsat ini mengaku bahwa dirinya
maju, dari segi IPTEK ataupun IMTAQ. Nyatanya itu terbukti sebuah
pengakuan yang sangat memalukan sekali. Tak pantas, dan menjijikan. Tahun dua
ribu tujuh belas, bangsat ini menjadi
tuan rumah SEA-GAMES. Kalian sudah pasti familiar. Ajang ini merupakan ajang
olahraga terbesar se-Asia Tenggara. Tentu Merah-Putih tak ketinggalan menjadi salah
satu peserta. Permasalahan dimulai. Pada acara opening ceremony, seperti sewajarnya kontingen dari tiap bangsa
diperkenalkan. Atlet-atlet berkeliling mengelilingi lapangan dengan rasa bangga
luar biasa. Bisa mewakili negerinya di ajang sebesar ini. Setelah itu, para
kontingen ditempatkan di tempat yang sudah disediakan panitia selama perlombaan
berlangsung. Berbagai fasilitas bisa dinikmati secara cuma-cuma termasuk buku
panduan. Hal memalukan itu terjadi. Bendera Merah-Putih dicetak terbalik
menjadi Putih-Merah. Sebuah penghinaan. Rakyat Merah-Puith berang. Lagi, dan
lagi bangsat yang mengaku dirinya
maju melakukan sebuah penghinaan kolektif yang sistematis.
Pemerintah Merah-Putih turun tangan.
Protes keras dilayangkan. Mempertanyakan kenapa bangsat yang mengaku dirinya tetangga bisa sampai melakukan hal tolol
semacam ini. Kesalahan tidak terjadi di satu buku, tapi di semua buku yang
dibagikan. Si bangsat meminta maaf,
dan berjanji akan menindak tegas masalah ini. Tak lama setelah mereka berjanji,
luka kami dibuat berdarah kembali.
Sepak Takraw putri. Mempertemukan
Merah-Putih dengan si bangsat yang
mengaku dirinya islam. Pertandingan dipimpin wasit dari negeri berlambang
Singa. Negeri kecil yang sedang menunggu kehancurannya. Pertandingan dimulai.
Babak pertama berjalan normal, pertandingan ketat. Si bangsat menang tipis 22-20. Di babak kedua
pemain-pemain Merah-Putih tancap gas. Selisih poin jauh, 16-10. Kecurangan
terjadi. Enam kali pemain Merah-Putih dianggap melakukan pelanggaran oleh wasit
saat service. Padahal, dilihat dari
tayangan ulang tidak ada yang salah sama sekali. Sekali lagi! Official tim dan pemain-pemain
Merah-Putih memilih walk-out. Mereka
berkolaborasi, menjadi Singa bangsat.
Harusnya pemerintah menyatakan
perang saja pada Singa bangsat itu.
Jika dibiarkan malah semakin melunjak saja. Tak usah takut dengan si Paman atau
si Ratu. Leluhur kita sudah membuktikan bahwa kita adalah bangsa pemberani. Ayo
kita runcingkan kembali bambu-bambu Merah-Putih, binasakan bangsat sialan itu.
22-08-2017. 22.41 WIB. Hari ke - tiga puluh tujuh KKN.
Aku memasuki minggu terakhir masa KKN. Tenaga teman-teman
mulai terkuras. Terlihat dari jadwal tiket masak dan kebersihan. Terpancar juga
dari air muka mereka yang mengindikasikan kebosanan dan ogah-ogahan. Memang
sudah menjadi hal wajar di mana setiap orang berada di titik jenuh saat
melakukan sesuatu. Pasti selalu ada titik jenuh itu. Doakan saja, semoga sampai
hari akhir KKN kami masih bisa melakukannya dengan baik.
Tidak hanya di posko,
kegiatan-kegiatan rutin kami di TPA, pengajian, ibu-ibu PKK, dll juga kena
imbasnya. Teman-teman kadang telat, berlama-lama di posko, dan berbagai
alasan pun menjamur meracuni diri sendiri. Aku menjalani hari-hari di minggu
terakhir dengan sewajarnya. Tak kutemukan perubahan sama sekali dari awal aku
KKN sampai sekarang. Sangat-sangat biasa. Aku juga tidak terlalu peduli jika
masyarakat di sini merasakan kehadiran aku atau tidak. Atau kami tidak lebih
baik dari KKN sebelumnya, dan bla… bla… bla… Silakan nilai saja aku sesukanya.
Selamat bersenang-senang!
23-08-2017.
23.30 WIB. Hari ke - tiga puluh delapan KKN.
Kesalahan
ialah dosa
lagi
kulakukan
Dosa ialah
rasa
lagi
menyiksaku
Dosa
pedih nan
nikmat
24-08-2017. 13.18 WIB. Hari ke - tiga puluh sembilan KKN.
Heningmu
kedamaian
Tempatku
membuai diri
Kegaduhan
adalah genderang
Peringatan
untukku
Panasmu api
Menyulut
keheningan
Dinginmu
air
Menyiram
panas
Inikah
persinggahan
Atau inilah
rindu?
25-08-2017 – 31-08-2017 *waktu tak ditentukan. Hari keempat
puluh – empat puluh enam KKN.
Genap empat puluh hari sudah aku
KKN. Tak terasa memang. Semua seakan terjadi sangat cepat seperti sebuah
tikaman dari belakang. Tahu-tahu darah sudah berceceran ke mana-mana, dan tentu sudah tak bernyawa. Di hari ke empat puluh ini aku masih menunggu wahyu
yang bisa menjelaskan apa sebenarnya KKN itu.
Sepertinya aku mulai putus asa,
wahyu itu tak pernah datang. Aku akan mencarinya. KKN alias kuliah kerja nyata.
Tiga kata kunci : KULIAH, KERJA, dan NYATA. Mari kita membedahnya satu per
satu. ‘KULIAH’ dibentuk oleh dua kata dasar, yaitu “KULI” dan “AH”. “KULI”
artinya seseorang yang mati-matian, banting tulang, kerja mencari nafkah tapi
hanya dapat upah rendah. Sementara “AH” biasanya merupakan ekspresi kekesalan,
kesedihan, dsb. Misal: “Ah kamu!”
‘KERJA’ adalah kata untuk
mewakili hal-hal yang dilakukan seseorang untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhan hidupnya, anak, istri, orang tua, keluarga besar, dst. Misalnya: ada
orang yang setiap hari kerjanya menambal ban bocor, mengarit rumput, angkut-mengangkut
barang, ngojek, atau orang yang kerjanya membikin sandal jepit dan obat nyamuk.
Eh, tapi ada juga orang yang kerjanya jadi politikus. Biasanya model kerjanya
seperti menipu orang, makan, menipu orang, makan, menipu orang, makan, lalu
tidur. Atau kadang ia makan, menipu orang, makan, menipu orang, makan, menipu
orang, lalu tidur. Intinya, kerjanya hanya menipu untuk makan.
Kata terakhir, ‘NYATA’.
NYATA berarti realitas yang dapat kita pijak. Realitas berarti kenyataan.
Kenyataan berarti hal-hal yang kita alami secara langsung, baik jasmani atau
rohani. ‘Nyata’ mempunyai sifat yang dapat dibuktikan. Misal: kenyataannya
tanganku digigit nyamuk. Atau kenyataannya Si Neneng itu putih. Atau
kenyataannya Pak Dukuh Tukirman tak suka padaku, haha.
Setelah semua kata itu
dibahas, meski tak secara mendalam, silakan simpulkan sendiri apa makna dari
KKN yang kita jalani. Sebab, tak adil rasanya jika kusimpulkan sendiri. Selain
tiap orang punya keunikan sendiri-sendiri dalam menyikapi segala hal, tak adil
jika kusimpulkan karena hanya Gusti Allah yang berhak menyimpulkan segala hal
dengan mutlak. Bukan aku, atau Ibu Zumaroh, atau tidak juga Pak Dukuh Tukirman.
Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan, dan di setiap perpisahan selalu
ada cerita di baliknya. Perpisahan juga bukanlah akhir dari pertemuan. Pada
hakikatnya perpisahan adalah gerbang untuk memasuki rasa rindu dan merindukan.
Perpisahan adalah gerbang awal menuju keabadian.
Tasyakuran dan pengajian
adalah dua tema utama perpisahan kami dengan warga dusun Ngrancahan. Ada dua
unsur yang terlibat dalam acara ini, pertama pemuda dusun, dan kedua mas-mas
dan mbak-mbak KKN UIN. Tasyakuran merupakan ide dari para pemuda sebagai
bentuk syukur karena mereka menjadi juara dua di turnamen bola voli Srumbung.
Sementara, pengajian sudah bisa ditebak, itu ide dari kami (kecuali aku, yang
sebenarnya menginginkan dangdutan haha). Kenapa pengajian? Sebab UIN merupakan Universitas yang tentunya berbasis agama Islam. Jadi, pengajian adalah pilihan
yang paling realistis dan rasional. Kami mengundang seorang Kyai kondang yang
namanya sudah tak asing di Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Wonosari, beliau
Kyai Bardan Usman. Nama beliau sontak menjadi buah bibir saat kami
mengumumkannya ke warga dusun. Mereka sangat antusias. Sangat sangat antusias.
Sudah lama katanya dusun Ngrancahan ini tak kedatangan seorang Penceramah
sekaligus Kyai sekelas Pak Bardan Usman. Aku baru tahu, ternyata Kyai juga
memiliki kelasnya masing-masing.
Pagi hari kami bersama
para pemuda kerja bakti untuk mempersiapkan acara. Hal pertama yang kami
lakukan adalah menyembelih ayam-ayam dan seekor kambing. Setelah selesai
berurusan dengan mereka, aku dan yang lain bersiap mendirikan tenda. Dua jam
kemudian, tenda sudah kami pasang. Luas sekali, kira-kira 6x4 meter. Tenda
selesai, dan waktunya istirahat. Setelah shalat dzuhur, sekitar jam satu siang
kami kembali berkumpul. Kami belum mempersiapkan panggung. Ibu Rahmi menjadi
sponsor untuk masalah panggung. Sejam kemudian, panggung telah berdiri. Selesai
dengan panggung, dekorasi menanti. Aku, Kholil, Yudi, dan Rexy memasang
umbul-umbul berwarna merah-putih untuk menghias tenda. Tentunya masih dalam
tema kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah itu, kami memasang backdrop hitam untuk latar belakang
panggung. Terakhir, kami memasang banner bertuliskan
“PENGAJIAN UMUM: Tasyakuran dan Perpisahan KKN UIN SUNAN KALIJAGA, 93 2017.”
Semua hal terkait teknis selesai jam lima sore, and it’s showtime!
Setelah mandi dan shalat
maghrib aku kembali ke lokasi. Teman-teman juga sudah bersiap. Satu per satu
warga dusun mulai berdatangan. Pengajian ini memancing kalangan tua dan lansia
untuk keluar dan bergerak dari zona nyaman. Buktinya, mereka mendominasi tempat
duduk yang sudah disediakan. Namun, golongan muda dan anak-anak pun tak sedkit
yang datang. Acara dimulai jam 19.30. Seksi acara membagi acara ini ke dalam
tiga sesi: pertama, hiburan, tasyakuran, dan pengajian. Bagian hiburan
sepenuhnya diisi oleh anak-anak dusun ‘didikan’ kami. Mereka menampilkan tarian
manuk dadali dan kreasi Jogja. Ada pembacaan pidato dua bahasa, Jawa dan
Indonesia. Setelah itu anak didikku membacakan puisi Gus Mus yang berjudul “Kalau kau sibuk, kapan kau sempat”
hasilnya cukup memuaskan. Lumayanlah. Puncak hiburan diisi oleh tim hadroh
asuhan Mas Nur dari RT 24.
Setelah acara hiburan
selesai Rexy kembali mengambil alih. Acara dilanjutkan ke tasyakuran. Acara ini
merupakan bentuk rasa syukur para pemuda dusun Ngrancahan yang menjadi juara 2
di lomba voli, dan kami sebagai mahasiswa yang telah lancar KKN di dusun ini.
Tasyakuran dimulai. Tentu sudah bisa dipastikan yang memimpin adalah sesepuh
dusun, Pak Muh. Shadiqin. 30 menit berlalu. Tasyakuran selesai.
Selanjutnya acara inti: pengajian,
yang akan diisi oleh Kyai Bardan Usman. Biar kuceritakan sedikit bagaimana kami
bisa-bisanya mengundang seorang penceramah kondang. Masih ingatkah kalian
dengan Atika? Ya dia, bendahara di kelompokku itu. Atika adalah anak dari Pak
Wagiran. Pak Wagiran adalah PNS yang kerja di Kementrian Agama. Aku tak tahu
jabatannya, tapi pastinya cukup tinggi. Sebab, berkat kekuatan Pak Wagiranlah
Kyai Bardan Usman bisa datang ke acara perpisahan kami untuk mengisi ceramah.
Terima kasih untuk kalian berdua. Pak Bardan naik ke atas panggung. Beliau
duduk di sofa yang kami pinjam dari rumah Pak Dukuh. Mulailah beliau
berceramah. Kyai Bardan dengan mudah mengukur kedalaman orang-orang yang
diceramahinya. Isi ceramahnya ringan saja, tapi mengena. Karena memang sudah kubilang
tadi mayoritas orang-orang yang datang adalah dari golongan tua dan lansia,
yang jika diberi ceramah filsafat atau teori ekonomi makro dan semacamnya,
tentu mereka akan lebih memilih untuk pulang dan tidur. Ada yang begitu
mendalam yang kemudian aku renungkan. Saat beliau bilang kalau kita harus
bersyukur dengan hal-hal kecil. Sekecil apapun tanpa terkecuali. Bahwa ciptaan
Gusti Allah tak pernah ada yang sia-sia. TUHAN TIDAK PERNAH MENCIPTAKAN PRODUK
GAGAL. Seperti NYAMUK. Aku yakin untuk kebanyakan orang nyamuk dianggap makhluk
yang menyebalkan dan pantas untuk dihabisi. Kerjanya hanya menggigit dan
menghisap darah orang. Kadang, karena gigitannya tak sedikit orang yang
meregang nyawa. Namun, justru karena keberadaannya orang-orang bisa mendapatkan
rezeki. Menafkahi diri dan keluarganya. Karena nyamuk orang bisa kerja di
pabrik obat nyamuk, atau di Dinas Kebersihan yang bertugas sebagai pengasap
kesehatan. Karena nyamuk juga orang bisa jadi dokter, dan silakan tambahkan
saja oleh kalian lapangan kerja yang dibikin oleh nyamuk. Aku yakin pasti lebih
banyak daripada lapangan kerja yang dibikin pemerintah. Itulah contoh-contoh
sederhana yang mestinya kita sadari dan syukuri.
Langit semakin gelap.
Bulan dan bintang-bintang semakin terang benderang. Tak terasa sudah sejam
berlalu. Padahal rasanya baru satu menit. Kyai Bardan menutup ceramahnya dengan
doa. Kami berdoa bersama memohon supaya malam-malam semacam inilah yang harus
banyak dilalui manusia-manusia di alam bumi, eh, maksudku alam semesta. MALAM PERPISAHAN.
KKN lu bang?
BalasHapusIye tong.
Hapus