Postingan

Wates

Seharusnya ketika itu dia loncat saja dari kereta di Stasiun Wates demi mengejarmu dan menggabrukmu dan membawakan tas yang kamu jinjing dan bukan malah kembali masuk ke dalam gerbong dan duduk di kursi dekat pintu setelah mengecup keningmu dengan cepat tanpa aba-aba selain dari peluit petugas stasiun. Dia menyesalinya, sungguh. Sampai hari ini, kalau waktu bisa diulang dan jarak bisa dilipat dan kenangan bisa disimpan di dalam saku celana, dia masih menyesalinya dan ingin kembali ke sana. “Betapa bodohnya aku!” katanya dalam malam di teras rumah dekat selokan. Di stasiun kereta itu dia malah meninggalkanmu sendirian. Menanggun g berat dan beban. Membawa d i ri ke dalam kesendirian di bangku panjang yang sudah pasti membosankan. Menunggu seseorang bangun cepat sepagi itu dan menjemputmu. Paling-paling kamu hanya akan ditemani hape yang tak bisa diajak ngobrol. Kamu akan duduk, menunduk, memandangi hape terus-menerus. Sampai seseorang itu datang, berteriak padamu, menghampirimu, ...

Di Akhir Khawatir

  Aku akan memulai semuanya dari nol, yang berarti dari apa yang aku bisa saja. Setiap hari akan kukerjakan, setiap hari akan kulakukan. Demi masa depan yang penuh dengan rokok dan anggur di meja makan sebelum makan. Dan tentu saja kopi, dan kopi, dan kopi. Ditambah roti tawar sebagai sarapan. Ah, rasanya akan enak sekali. Kecuali di hari Senin dan Kami s , sudah tentu aku kudu puasa. Tak mudah untuk memulai. Apalagi kalau tak ada modal, tak punya uang banyak. Sebab kini, kiwari ini apa-apa perlu uang. Bikin apa pun tanpa uang, bisa sih, tapi… ya begitulah. Tetap akan jadi tapi perlu waktu. Mungkin sebulan, atau dua tahun, atau sampai entah. Yang pasti waktu tak bisa diburu-buru. Sesampainya saja. Sejadinya. Dan yang kubisa, sejauh ini, sejauh aku memahami diri sendiri, apa yang kubisa sekarang adalah menulis. Menulis dan menulis. Sampai jadi novel. Yah, tak pernah terbayang juga aku akan bisa menulis beratus-ratus halaman cerita. Akhirnya jadi buku dan diterbitkan. Walau belum...

Ceuk Bapa

Padahal baheula ngabayangkeun hirup teh bakal ngeunah. Ti leuleutik diajar ngaji, nepi ka gede oge tuluy ngaji. Nepi ka ayeuna oge sanajan maksiat jalan tapi ngaji ge sarua jalan. Anggeus diajar ngaji tuluy diajar di sakola. Teu cukup di sakola   hungkul, nepi ka imah oge tuluy diajar ku kolot. Diajarkeun hirup teh sing cageur-bageur-pinter. Ngarah jadi “jalma”. Pan ceuk Bapa. Nepi ka ayeuna masih muter na sirah peupeujeuhna. Mun hayang jadi “jalma” nu boga peurah kudu peurih. Meurih ngarah meurah. Tuluy kudu panyang lengkah—da lalaki (cenah) maneh mah. Ulah cicing di imah wae jiga elap baseuh, ngalumuk. Tah tuluykeun geus boga elmu, geus loba pangalaman, kudu jadi ajir. Ari ajir, teu pipilih. Rek pepelakan nanaon oge bisa muntang kana ajir. Rek kongkoak, rek jukut, rek naon wae. Hoerunas anpaunnas, cenah ceuk Nabi ge? Ayeuna abi hirup kieu keneh teh meureun kurang meurihna. Can bener, can loba. Kudu loba keneh diajar, kudu loba keneh tatanya, utamana mah kudu loba keneh diajar...

Surga yang Entah

  Penumpang yang terhormat. Sebentar lagi kereta yang anda naiki akan tiba di Stasiun Kepala Tiga. Bagi anda yang hendak turun di Stasiun Kepala Tiga, mohon segera mempersiapkan diri. Periksa kembali barang bawaan anda sebelum turun. Pastikan tak ada satu pun yang tertinggal di dalam kereta. Terima kasih telah percaya dan menggunakan layanan kami. See you on the next trip! Stasiun Kepala Tiga, katanya. Padahal aku ingin turun di Stasiun Surga, ingin segera mengakhiri perjalanan ini. Tapi baru saja naik dan kereta melaju dengan begitu cepatnya dan aku baru sadar kalau ternyata salah menaiki kereta. Kulihat kembali tiket. Tapi… setelah dilihat dan dibaca, salahnya di mana? Padahal aku sudah menyiapkan perjalanan ini sedari jauh-jauh hari. Sudah sejak dari lahir. Oh, bukan. Sudah sejak dari dalam kandungan. Oh, tidak, tidak. Sudah sejak dari alam ruh. Aku sudah menyiapkan semuanya. Segalanya telah kutinjau, kupikirkan, dan aku setuju memilih untuk membeli tiket ke Jurusan Surga. Y...

Si Pohon Kelapa

  Tahun berganti, usia bertambah, dan pohon kelapa itu semakin tinggi, menjauhi tanah tapi tetap tak lebih dekat kepada langit. Si P ohon K elapa sudah menunggu lama, lama sekali menanti seekor bangbung kelapa. Seekor bangbung kelapa yang mencintainya, yang mau hidup dengannya, yang mau menemaninya merayakan pergantian T ahun A nggrek atau T ahun M elati atau menyertainya menunaikan ibadah musim hujan atau kemarau. Tapi bangbung kelapa yang ada dalam kepalanya tak kunjung datang, bahkan sampai saat itu, saat ia benar-benar menginginkannya. Si P ohon K elapa sudah lelah menunggu dan capek berganti-ganti pasangan melulu. Ia kapok, tak ingin pacaran dengan bangbung kelapa mana pun kecuali jika bangbung kelapa itu langsung menikahinya. Ada, memang, beberapa bangbung kelapa yang menyatakan ingin melamar dan menikahinya langsung tapi dengan serta merta ditolaknya. Bukan apa-apa, jaman kiwari hidup tak cukup pakai niat baik, tapi terutama perlu duit. Dan yah, di zaman edan begini, sia...

Kereta Jurusan Surga

Ketika lelaki itu datang dengan setengah terhuyung karena pening sebab dibangunkan oleh petugas kereta secara mendadak karena menempati gerbong yang salah, perempuan itu sudah duduk di sana dengan seorang bocah lelaki. Lelaki itu sudah pasti ingin duduk di situ, di bangku dekat pintu, supaya dekat dengan toilet dan tak perlu melewati barisan panjang penumpang jika ingin buang air. Sudah kebiasaannya begitu, setiap kali ia naik kereta. Tapi subuh itu bangku yang biasa jadi tempatnya duduk sebagian sudah diisi perempuan itu dan bocah lelaki yang setelah diamati membuatnya bergidik dan hendak berlalu mencari bangku lain yang kosong tapi karena perempuan itu keburu bilang, “Duduk di sini?” sembari melempar senyum manis, lelaki itu akhirnya duduk juga, menghadapi pemandangan yang akan membuatnya untuk selalu mensyukuri sesial apa pun hidupnya. ___ Lelaki itu duduk berhadapan dengan perempuan itu dan bocah lelaki di pangkuannya. Sebenarnya ia tak ingin berbasa-basi, ingin tidur saja samp...