Wates


Seharusnya ketika itu dia loncat saja dari kereta di Stasiun Wates demi mengejarmu dan menggabrukmu dan membawakan tas yang kamu jinjing dan bukan malah kembali masuk ke dalam gerbong dan duduk di kursi dekat pintu setelah mengecup keningmu dengan cepat tanpa aba-aba selain dari peluit petugas stasiun. Dia menyesalinya, sungguh. Sampai hari ini, kalau waktu bisa diulang dan jarak bisa dilipat dan kenangan bisa disimpan di dalam saku celana, dia masih menyesalinya dan ingin kembali ke sana.

“Betapa bodohnya aku!” katanya dalam malam di teras rumah dekat selokan.

Di stasiun kereta itu dia malah meninggalkanmu sendirian. Menanggung berat dan beban. Membawa diri ke dalam kesendirian di bangku panjang yang sudah pasti membosankan. Menunggu seseorang bangun cepat sepagi itu dan menjemputmu. Paling-paling kamu hanya akan ditemani hape yang tak bisa diajak ngobrol. Kamu akan duduk, menunduk, memandangi hape terus-menerus. Sampai seseorang itu datang, berteriak padamu, menghampirimu, memelukmu, mencium pipimu, dan mengajakmu sarapan sebelum pergi ke pernikahan.

Dan yang melakukan semua itu bukanlah dia. Melainkan orang lain. Aduh, aduh. Betapa bodohnya dia. Membiarkan kekasihnya digondol orang lain. Di sepanjang perjalanan menuju Stasiun Lempuyangan yang pendek, dia terus menyesal. Mengutuki dirinya. Betapa anjing betul dirinya itu. Oh, tidak. Anjing malah lebih setia dan mulia dari manusia. Tak mungkin meninggalkan seseorang yang dicintainya sendirian di stasiun dengan barang bawaan yang berat. Anjing tak akan setega itu membiarkan orang yang disayanginya melamun sendirian dengan tatapan kosong menatap hape, tanpa teman bicara, tanpa teman bersandar, tanpa teman yang siap menampung segala capek dan lelah dan letih dan sedikit mumet di kepala. Anjing tak akan sebodoh itu untuk rela membiarkan seseorang yang begitu dicintainya digondol orang lain.

“Babi, babiii!”

Nah!

Di pusaran sesal, dia kembali membayangkan adegan-adegan yang dimainkan semalam suntuk bersamamu kekasihnya. Adegan saat kekasihnya membuka tas dan mengeluarkan sebatang cokelat dan menyuruhnya untuk membuka dan memakannya kalau mau. Meski dia tak suka cokelat, tapi adegan itu membuatnya merasa sangat diperhatikan. Adegan lain saat kekasihnya mulai memejamkan mata dan bersandar padanya. Kepalanya ada di pundakmu, kedua tangannya melilit tangan kirimu, dan seluruh impiannya direbahkan ke dalam dadamu. Adegan lainnya lagi saat kekasihnya terbangun di tengah malam dan mengajak beli makan ke dapur dan kalian duduk di sana makan pop mie sambil membicarakan mengapa kereta hanya punya delapan gerbong padahal rel tak pernah berakhir.

“Badanku pegaaal...”

Dia mengerti dan langsung mengusapi punggungmu, memijit tanganmu sesekali, dan meniupkan mantra penangkal sunyi di atas ubun-ubunmu. Kamu tertawa, lepas, bahagia, meski capek, walau hanya makan pop mie. Ah, sungguh. Dia merasakan bahwa dirinya semakin goblok. Bodoh! Goblok! Idiot! Mengapa dia setega itu dan membiarkan kekasihnya turun sendirian di Stasiun Wates dan setelah tahu dia akan menyesal tapi tetap ketika kereta mulai berjalan dia tak lantas meloncat? Asu, buntung. Kambing, bunting. Kucing, miring.

Dan dari sini aku melihat mereka berdua. Sepasang kekasih yang menghabiskan malam dalam kereta bersama. Tampak begitu saling menyayangi. Tipikal pasangan baru mekar, jenis dari cinta yang baru saja berbunga. Aku pikir dia memang goblok karena membiarkanmu turun sendirian di Stasiun Wates. Bodoh karena setelah tahu dirinya akan menyesal tapi tak lantas buru-buru meloncat ketika kereta perlahan mulai berjalan. Dia memang lelaki kurang ajar. Itu valid. Dia memang bodoh, tapi kupikir bukan berarti dia tak mencintaimu sepenuhnya. Dia hanya bodoh saja. Dia hanya lelaki kurang ajar saja. Tapi bukan berarti dia tak akan menyerahkan seluruh usianya untukmu. Dia hanya perlu bimbel kepada Hanuman, dan ikut bertapa di Gunung Kendalisada untuk mengendalikan diri supaya bisa peka merespon situasi semacam itu.

Lalu kupikir kamu pun sebenarnya tak terlalu memedulikan semua itu. Tampak, hal semacam itu bukan masalah besar bagimu. Kamu sudah gede, perempuan mandiri yang bisa mandi sendiri. Tapi, tapi. Perempuan setangguh kamu juga bukan berarti tak butuh seorang lelaki. Kamu hanya sedang mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, kalau-kalau—amit-amit—dia hanya siluman yang menyusup ke dalam hatimu. Dan ya, aku baru ingat. Akan kubagi mantra ini padamu, mantra penjinak siluman.

Malam Rindu. Hatiku ketar-ketir.

Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku

ke pelukanmu dengan cara saksama

dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

 

Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul

dari sebutir benci atau sebongkah trauma,

mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong

pancarindu di bibirku, dan aku gagal

mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu.1

Jika sekarang dia tak lagi datang padamu, itu bukan berarti dirinya melupakanmu. Barangkali dia sedang fokus bimbel bareng Hanuman di Gunung Kendalisada. Atau mungkin sedang bertapa untuk mencapai maqom lelaki peka. Aku pun sama. Meski hanya dari jauh, tapi aku tetap memerhatikan kalian berdua. Berdoa untuk kalian setiap hari, merapal mantra untuk kalian setiap pagi, membasuh luka kalian dengan sekumpulan puisi.

Aku mungkin jauh, tapi sebenarnya lebih dekat dari kuah bakso di mangkukmu. Dia mungkin seolah tak peduli, tapi sebenarnya dia selalu memikirkanmu tanpa henti. Kamu mungkin tak menyadari, itu sudah pasti. Sebab aku dan dia sekarang adalah orang lain. Setidaknya untuk saat ini, bagimu. Dan kamu tak perlu memaksa diri untuk mengerti, apalagi mencoba berlari. Diam saja, mengamati kami. Perlahan kamu akan melihat bagaimana dia begitu mencintaimu. Lama-lama kamu akan mengerti kalau aku begitu menyayangimu.

Jika sekarang kamu merasa sendiri dalam sepi, cobalah nikmati. Sepi adalah pesan dari langit supaya kamu tak berhenti bertanya. Sunyi adalah kata-kata yang meneduhkan hatimu dari godaan jin dan seblak. Kamu yang sendiri, tetap berarti bagi dirinya sekaligus bagi diriku. Aku pun sama sepertinya. Tengah belajar dan terus akan belajar untuk tidak menjadi orang suci. Melainkan jadi lelaki yang peka dan mudah mengerti. Bisa peka pada kata-kata yang kamu tulis di gulungan ombak, bisa mengerti kalimat-kalimat yang kamu sampaikan di atas mega-mega.

Meski kesepian, tapi kamu tak sendiri. Walau jalanan sunyi tapi bukan berarti tak akan ada lelaki yang mengunjungi hatimu. Dia tengah bersiap untukmu. Begitu juga aku. Hanya untukmu. Hanya kepadamu. Kami akan menyerahkan segalanya padamu. Entah itu sebongkah mimpi, atau sekepal sunyi, atau sekarung puisi. Dia akan menunggumu. Begitu juga aku. Dia dan aku tak akan ke mana-mana. Kami akan ada di sana. Seperti halnya bunyi-bunyi di malam ganjil yang ramai. Sebanyak itulah dia mencintaimu. Sebanyak itulah aku menyayangimu.

Tempat terindah

untuk cuci mata

ialah matamu: mata sunyi yang memancar

di balik keriuhan hari-hari dan keramaian kata-kata.2

 

1 Malam Rindu – Joko Pinurbo

2 Penggalan puisi Mata Sunyi – Joko Pinurbo


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Juga

Kereta Jurusan Surga

Si Pohon Kelapa