Kereta Jurusan Surga

Ketika lelaki itu datang dengan setengah terhuyung karena pening sebab dibangunkan oleh petugas kereta secara mendadak karena menempati gerbong yang salah, perempuan itu sudah duduk di sana dengan seorang bocah lelaki. Lelaki itu sudah pasti ingin duduk di situ, di bangku dekat pintu, supaya dekat dengan toilet dan tak perlu melewati barisan panjang penumpang jika ingin buang air. Sudah kebiasaannya begitu, setiap kali ia naik kereta. Tapi subuh itu bangku yang biasa jadi tempatnya duduk sebagian sudah diisi perempuan itu dan bocah lelaki yang setelah diamati membuatnya bergidik dan hendak berlalu mencari bangku lain yang kosong tapi karena perempuan itu keburu bilang, “Duduk di sini?” sembari melempar senyum manis, lelaki itu akhirnya duduk juga, menghadapi pemandangan yang akan membuatnya untuk selalu mensyukuri sesial apa pun hidupnya.

___

Lelaki itu duduk berhadapan dengan perempuan itu dan bocah lelaki di pangkuannya. Sebenarnya ia tak ingin berbasa-basi, ingin tidur saja sampai ke stasiun tujuan sebab semalam ia begadang. Tapi perempuan itu mencegahnya dengan satu senyum manis lagi. Hmmm. Kalau dipikir-pikir, perempuan itu memang manis, sih, pikirnya.

“Turun di mana?”

“Cimekar.”

“Oh bentar dong. Kalo aku turun di Stasiun Bandung.”

Siapa juga yang tanya, pikir lelaki itu. Kepalanya memang sudah pusing, maklum belum tidur, jadi maafkan kalau pembawaannya agak rudet begitu. Si lelaki mencari posisi duduk yang nyaman, pantatnya menjelajahi bangku sampai ke dekat jendela dan balik lagi ke sisi dekat lorong karena dipikir di situlah ia bisa duduk sambil menyelonjorkan kakinya yang pegal. Apa yang tak ia duga tiba-tiba menyergapnya. Bocah lelaki itu menghampirinya, memegang tangannya, menatapnya, tersenyum dengan nafas seperti orang ngorok. Ia tak ingin menatapnya, sungguh, pemandangan itu. Tapi, akhirnya ia tersenyum juga, membalasnya.

Si bocah lelaki itu senyum dengan lebih manis sambil berbalik merangkul perempuan itu. Perempuan itu tertawa, entah pada si bocah atau pada si lelaki.

“Dia emang begitu. Bisa langsung akrab kalau sama cowok, tapi kalau ke cewek malah suka nangis, aneh.”

“Berapa tahun?”                                                  

“Empat belas bulan.”

“Oh.”

Si lelaki menutup “oh” itu sembari membetulkan letak topinya, membuatnya nyaman supaya pendingin tak mengenai kepalanya di subuh yang kepalang dingin. Ia kembali mencari posisi, bersiap tidur, mencoba membuang muka dan mengarahkan matanya ke samping melampaui jendela. Diam-diam ia sedang meminta belas kasihan kepada perempuan itu untuk membiarkannya tidur.

“Maaf, ya. Aku suka ngerasa gak enak kalau duduk di kereta tapi diem-dieman, gak ngobrol. Kagok aja rasanya.”

Si lelaki membuka kembali matanya, menarik nafas panjang, dan perjalanan serta waktu dilipat ke dalam raungan kereta yang panjang.

___

“Iya, aku nikah muda. Abis lulus SMA langsung nikah.”

Lelaki itu senyum, seolah sudah bisa menebak seluruh hidupnya hanya dari jawaban tersebut. Saat ia mau lanjut bertanya, perempuan itu keburu menjawab, “Tapi bukan karena kecelakaan, loh. Alhamdulillah, hal-hal begitu mah aku masih bisa jaga.”

Kali ini lelaki itu tertawa, padahal bukan itu yang ingin ditanyakannya. Tapi sudahlah, ya sudah. Mungkin perempuan itu hanya ingin membela diri dari orang-orang yang biasanya menilai dirinya dari luar dan takut dianggap gampangan karena di usia itu sudah punya bocah, makanya ia perlu untuk menegaskannya. Apalagi kepada lelaki itu, yang barangkali dianggapnya semua lelaki adalah bajingan belaka.

“Kamu udah nikah?”

“Belum.”

“Bohong! Yang bener ah,” perempuan itu menuntut.

“Serius, deh.”

Kurang dari sepuluh menit setelah lelaki itu menarik nafas panjang dan melipat perjalanan dan waktu ke dalam saku celana, mereka berdua sudah seakrab itu. Si perempuan memang senang bertanya, kalau diam malah gerogi dan kikuk, sedangkan si lelaki sebetulnya juga senang ngobrol—sikapnya yang seolah bajingan disebabkan karena kurang tidur saja.

“Tapi bagus deh, jangan. Jangan buru-buru sepertiku.”

Lelaki itu mendengarkan cerita si perempuan dengan telaten. Perkara ia yang bingung pada dirinya sendiri mengapa langsung memilih nikah setelah lulus sekolah, perkara kehidupan rumah tangganya yang acak-acakkan karena hidup dan tinggal di rumah mertua dan diperlakukan tak lebih dari sekadar keset oleh mertuanya, perkara ia yang akhirnya menyerah dan meminta suaminya untuk mengembalikan dirinya kepada ibunya, dan perkara, bahwa setelah itu ia mengalami masa-masa paling menyedihkan dalam hidup.

Wajah lelaki itu tak menunjukkan reaksi apa pun meski sebenarnya perasaan di dalam dadanya berkecamuk. Ia diam saja, diam, dan mendengarkan, dan mendengarkan, dan mendengarkan. Semakin lama mendengar cerita perempuan itu, semakin ia berpikir kesulitan yang selama ini pernah dialaminya hanyalah riak air di pancilingan dan bukan gelombang di lautan.

“Kadang aku nyesel. Teman-temanku ada yang asik kerja, atau kuliah, atau main dan kumpul-kumpul dan hidupnya bebas. Tapi kalau dipikir, salahku juga waktu itu tak banyak pertimbangan dan langsung milih untuk nikah.”

Yah, yah, yah. Kalimat terakhir memaksa lelaki itu untuk berpikir ulang soal membangun komitmen. Ia jadi rindu kekasihnya yang jauh, yang masih belum utuh. Kalau saja ia sakti seperti Hanoman, sudah pasti ia akan loncat dari sana dan terbang menuju kekasihnya. Atau mungkin, apa ia harus membiarkan kekasihnya menyembuhkan dirinya sendiri dan sambil menunggu ia lanjut bertapa saja untuk menambah kesaktian di Gunung Myoboku bersama para Tetua Katak supaya benar-benar bisa menyerap energi alam dan menguasai mode sage? Dan ia bisa mengerti pain, dan ia bisa memahami pain, dan ia bisa mengalahkan pain.

“Usiamu berapa?”

“Tebak, dong.”

“Ihh, yang bener! Berapa? 30 ya?”

“Di bawahnya.”

“27?”

“Di atasnya.”

“28?”

“Bukan. Aku lahir 1995.”

“Berarti… 29?”

“He-he.”

“Apa susahnya tinggal bilang 29?”

Perempuan itu kesal, gregetan, tapi mereka tertawa bersama juga akhirnya.

“Kalo kamu?”

“Aku kelahiran 2003. Bulan kemarin, Oktober, aku baru ulang tahun yang kedua puluh dua.”

“Happy birthday!”

Perempuan itu senyum.

Lelaki itu senyum.

Namun kereta melolong panjang. Kengerian meremang memenuhi gerbong. Matahari terasa akan segera meledak.

Sialan!

Dunia macam apa ini?

___

Dan perempuan itu berjuang seorang diri. Subuh-subuh dari rumah ia berangkat naik angkot ke stasiun, memanggul tas punggung, menenteng tas tenteng, dan menggendong bocah lelakinya. Tak ada yang bisa dimintai tolong, tak ada yang bisa mengantarnya. Kalaupun ada belum tentu mereka mau dan kalaupun mau, belum tentu mereka akan berangkat tanpa perasaan risih dilihat orang-orang. Itu karena bocah lelaki itu mengalami ketidakberuntungan sejak lahir. Bibirnya sumbing.

“Orang mungkin ngelihat dia kekurangan dan jadi kelemahanku, tapi cuma dia yang selama ini menguatkanku, bikin aku kuat untuk jalanin hidup.”

Awal-awal hamil, lalu melahirkan dan punya anak di usia dua puluh satu tahun dengan keadaan fisiknya yang kurang, mentalnya benar-benar runtuh. Sudah begitu ditambah suami yang entahlah, tak bisa diandalkan. Tak terbayang, benar-benar. Hamil, punya anak, cerai di usia semuda itu. Bahkan sampai pernah ia ingin mengakhiri hidupnya dengan minum baygon atau mengoplos sekarton obat batuk dengan jus asal yang dibikinnya. Tapi saat melihat bocah lelakinya senyum, menatapnya, dan dari matanya pancaran-pancaran cinta keluar menembus jantungnya, sejak saat itu ia berjanji akan hidup untuk dia dan bocah lelakinya. Setidaknya, sejak saat itu ia tak hanya berpikir akan hidup, tapi juga akan bekerja keras dan ikhlas menapaki jalannya yang sunyi.

“Hmmm. Sebulan sekali atau dua kali, aku pasti ke Bandung, ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Nah, di Bandung kan ada Rumah Singgah gitu. Ini udah mau dua bulan tapi Si Adek belum dioperasi juga. Doain ya biar minggu ini bisa dapat dan langsung dioperasi. Pusing, sih. Tapi yah, la haola.”

Lelaki itu tak berkutik. Ia benar-benar malu pada dirinya tapi sekaligus merasa bersyukur. Ia berpikir keras, sebelum sampai stasiun ia harus menemukan jawabannya; apa yang harus ia berikan untuk perempuan itu? Uang ia tak punya, kata-kata motivasi akan percuma, tapi sebelum sampai ke sana, mereka bertukar instagram, saling mengikuti. Dan, ya, akhirnya.

“Nanti kukirim buku buatmu, ya?”

Perempuan itu mengangguk. Lelaki itu bangkit dari bangku, menyalami si bocah lelaki, beradu tinju dengan si perempuan.

“Semoga lancar…”

“Dadah, Oom…”

Mereka berdua melambaikan tangan.

Lelaki itu keluar dari kereta dengan perasaan hampa....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Juga

Si Pohon Kelapa