Si Pohon Kelapa
Tahun berganti, usia bertambah, dan pohon kelapa itu semakin tinggi,
menjauhi tanah tapi tetap tak lebih dekat kepada langit.
Si Pohon Kelapa sudah menunggu lama, lama sekali menanti seekor
bangbung kelapa. Seekor bangbung kelapa yang mencintainya, yang mau hidup
dengannya, yang mau menemaninya merayakan pergantian Tahun Anggrek atau Tahun Melati atau
menyertainya menunaikan ibadah musim hujan atau kemarau. Tapi bangbung kelapa
yang ada dalam kepalanya tak kunjung datang, bahkan sampai saat itu, saat ia
benar-benar menginginkannya.
Si Pohon Kelapa sudah lelah menunggu dan capek berganti-ganti
pasangan melulu. Ia kapok, tak ingin pacaran dengan bangbung kelapa mana pun
kecuali jika bangbung kelapa itu langsung menikahinya. Ada, memang, beberapa
bangbung kelapa yang menyatakan ingin melamar dan menikahinya langsung tapi
dengan serta merta ditolaknya. Bukan apa-apa, jaman kiwari hidup tak cukup
pakai niat baik, tapi terutama perlu duit. Dan yah, di zaman edan begini,
sialnya banyak dari bangbung kelapa menganggur tak punya kerja walau hanya
paruh waktu.
Jadi Si Pohon Kelapa bingung, bingung sendiri
mengapa hidupnya bisa sesial itu. Padahal selama hidup, sampai sejauh itu, ia
tak pernah maksiat apalagi melanggar syariat. Hmmm. Kalau mau jujur, pernah sih
beberapa kali ia telanjang dada sambil berciuman dengan seekor bangbung di
kebun kelapa dekat pantai. Tapi itu kan dulu? Seharusnya dosanya itu sudah dihapus oleh
kebaikan-kebaikan yang ia kerjakan setelahnya. Harusnya.
Padahal Si Pohon Kelapa mulai memperbaiki salatnya,
terutama salat subuh. Karena pernah ia mendengar dari pengeras suara masjid, barangsiapa ingin hidupnya berubah maka perbaiki dulu
salat subuhnya. Entah masih ada yang salah atau tidak dengan salat subuhnya,
tapi bukannya membaik, semakin ke sini hidupnya malah semakin tak karuan. Yang jadi
urusan genting, ia semakin tak tahan menghadapi kesepian dan kesendirian.
Selain mulai memperbaiki salatnya terutama salat subuhnya, Si Pohon Kelapa juga mulai rajin puasa Senin-Kamis, mengamalkan sedekah subuh, selalu datang ke
pengajian, bahkan yang menurutnya paling ekstrem dan paling banyak menyita waktunya
adalah bahwa ia setiap malam sebelum tidur selalu membaca solawat paling
sedikit 700 balikan. Masyaallah,
tabarakallah. Tapi tetap, tetap saja ia sendiri dan kesepian. Sungguh,
usianya sudah lebih dari cukup untuk menikah dan berlayar mengarungi bahtera
rumah tangga.
Ya Allah….
Ia sudah tak sabar ingin merasakan nikmatnya bercinta di jalan-Mu.
Meski banyak teman-temannya, pohon kelapa yang lain yang sudah lebih dulu
menikah dan berlayar dan ternyata mereka bercerita bahwa pernikahan tak selalu
indah sebagaimana seperti yang dibayangkan dalam batok kelapa, tapi Si Pohon Kelapa tetap percaya jika niatnya baik maka pernikahannya
pun akan baik. Innamal a’malu bi niat,
gak sih?
Maka dari itu Si Pohon Kelapa sudah mempersiapkan segala
sesuatunya dari awal, terutama hal ihwal parenting
dan manajemen keuangan setelah menikah. Ia tak mau rungsing juga oleh bunyi
token listrik yang mau habis karena tak punya duit buat beli pulsa. Maka ia
sudah mempersiapkan segala sesuatunya dari jauh-jauh hari. Ia mulai membaca
buku-buku parenting mulai dari parenting ala Denmark, parenting ala Finlandia, parenting
ala Swedia, parenting ala Rusia, parenting ala Islam, sampai parenting
ala keluarga Nabi. Ditambah, ia pun juga sering
belajar parenting lewat sosial media
terutama melalui instagram dan tiktok. Kemudian untuk soal bagaimana mengelola
keuangan setelah menikah, karena dengan membaca buku rasanya batok kelapanya
selalu terasa hampir pecah, maka ia hanya mempelajarinya lewat youtube saja.
Tapi apa? Setelah ia mempelajari dan mempersiapkan kehidupan rumah
tangganya di masa depan secara serius tapi
apa? Setelah ia melakukan semuanya demi kebaikan sampai kudu mempelajari
kitab-kitab kuning yang membahas bab-bab membuka sarung tapi apa? Setelah ia
selalu memperbaiki salat memperbaiki diri dan rajin puasa Senin-Kamis dan
sedekah subuh dan selalu mengamalkan amar
ma’ruf nahi mungkar tapi apa? Tapi sampai sekarang ia masih sendiri dan
kesepian. Belum ada satu pun bangbung yang datang yang berkata ingin melamar
dan menikahinya dan tak cuma modal niat tapi sudah punya penghasilan besar dan
kerjaan tetap.
Yang membuatnya makin jengkel adalah bahwa beberapa tahun terakhir ia sudah
membuka hati untuk menjalin relasi dengan seekor bangbung kelapa, ia sangat
mencintainya, ingin hidup bersamanya, tapi setelah menjalin relasi dan mulai
ketahuan siapa dan bagaimana latar belakang Si Bangbung, mulai mengetahui kalau Si Bangbung
kerjanya belum tetap dan saban sore hanya terbang mengelilingi sawah atau
kebun-kebun cengkeh, ia mulai ragu. Masa ia kudu
hidup dengan bangbung semacam itu dan menghabiskan seluruh usia bersamanya?
Yang membuatnya tambah-tambah jengkel adalah bahwa ia akui, ia sangat
mencintai Si Bangbung itu, sangat mencintainya.
Tapi, tapi, Si Bangbung kerjanya hanya terbang saban sore keliling sawah atau kebun cengkeh
sembari menulis puisi? Sori, sori. Nasi tetaplah
nasi, perut lapar mana mempan dikasih puisi. Begitulah keputusannya. Meski cinta,
walau ingin, tapi masa ia kudu hidup dengan seekor bangbung yang meskipun soleh
tapi penghasilannya belum dua digit dan tak punya kerjaan tetap? Dan mereka pun berpisah.
Kini Si Pohon Kelapa mengingat semua yang
dikatakan oleh Si Bangbung waktu mereka bertengkar dan kemudian putus. Mungkin, perkataan Si Bangbung ada
benarnya, ada benarnya juga. Meski kerjanya saban hari cuma menulis puisi dan bukan seekor polisi, tapi
perkataannya mungkin mengandung kebenaran murni tanpa cacat walau setengah
karat.
Waktu itu Si Bangbung kelapa berkata begini kepadanya:
“Gimana kamu bakal tahu hidup denganku akan susah atau enggak kalau kamu
gak mau coba dan kita gak pernah nikah? Rezeki sudah diatur Gusti nu Maha Suci. Meski kerjaku
cuma menulis puisi, tapi itu sudah bagian dari upaya menjemput rezeki dari Gusti. Kalau kamu tak pernah ngasih kesempatan, gimana aku
bisa buktiin kalau aku bisa menghidupimu lewat puisi tanpa kudu jadi polisi
atau makhluk berdasi? Kasih aku kesempatan meski cuma sekali! Beri! Kasih ke aku
kesempatan itu! Tapi kalau kamu keukeuh bahwa
hidup yang baik adalah hidup yang tak pernah kekurangan nasi, maka, yah, aku
hanya bisa berdoa biar kamu tak kena diabetes.”
Tapi tidak, tidak, pikirnya. Barangkali ia hanya lelah saja, dan karena
lelah batok kelapanya tak bisa berpikir dengan jernih. Sudah jelas hidup di
jaman kiwari cari yang pasti-pasti, cari yang kasih bukti bukan sekadar janji. Sudah
jelas. Kiwari hidup perlu duit dan tanpa duit hidup hanya akan semakin sulit. Ini
hanya soal waktu sampai bangbung ideal datang melamarnya. Ini hanya soal waktu
sampai bangbung dengan penghasilan dua digit dengan pekerjaan tetap datang ke
rumah dan menikahinya. Ini hanya soal waktu. Benar-benar hanya soal waktu. Aku masih
kuat menunggu, pikirnya menguatkan hatinya sendiri.
“Sori, begini-begini aku masih laku, masih ingin hidup enak di bumi, masih
ingin menunaikan haji bareng suami dan bercinta di tanah suci. Jaman kiwari
ibadah juga perlu duit, boyyy… sori!”
Komentar
Posting Komentar