Di Akhir Khawatir
Aku akan memulai semuanya dari nol, yang berarti dari apa yang aku bisa
saja. Setiap hari akan kukerjakan, setiap hari akan kulakukan. Demi masa depan
yang penuh dengan rokok dan anggur di meja makan sebelum makan. Dan tentu saja
kopi, dan kopi, dan kopi. Ditambah roti tawar sebagai sarapan. Ah, rasanya akan
enak sekali. Kecuali di hari Senin dan Kamis, sudah tentu aku kudu puasa.
Tak mudah untuk memulai. Apalagi kalau tak ada modal, tak punya uang
banyak. Sebab kini, kiwari ini apa-apa perlu uang. Bikin apa pun tanpa uang,
bisa sih, tapi… ya begitulah. Tetap akan jadi tapi perlu waktu. Mungkin
sebulan, atau dua tahun, atau sampai entah. Yang pasti waktu tak bisa
diburu-buru. Sesampainya saja. Sejadinya.
Dan yang kubisa, sejauh ini, sejauh aku memahami diri sendiri, apa yang
kubisa sekarang adalah menulis. Menulis dan menulis. Sampai jadi novel. Yah,
tak pernah terbayang juga aku akan bisa menulis beratus-ratus halaman cerita.
Akhirnya jadi buku dan diterbitkan. Walau belum diterbitkan oleh penerbit
besar, tapi yang beli lumayan juga. Mencapai hampir delapan puluh orang.
Lumayan untuk seorang pemula sepertiku. Inginnya sih, memang, diterbitkan oleh
penerbit besar macam Gramedia atau Bentang. Atau mungkin oleh penerbit kecil
tapi dengan nama yang besar semisal penerbit Baca atau Banana atau mungkin
Marjin Kiri. Rasanya akan seru.
Namun, tak apalah. Aku sadar aku tahu. Tak ada suatu hal yang ujug-ujug.
Semua harus melewati fase-fase semacam ini, fase merangkak. Tak bisa ujug-ujug
melesat berlari kecuali bagi mereka yang punya bapak dengan duit tak terbatas.
Tak peduli itu hasil korupsi atau bukan. Yang penting, anak bisa jadi orang.
Dikenal oleh orang-orang sudah menjadi “sebagai”.
Untuk orang sepertiku, tentu kudu merangkak dulu. Sebab modal terbatas,
kenalan banyak tapi masih belum bisa memaksimalkannya dengan baik. Teman juga
lumayan, dan benar, mereka adalah orang-orang yang pertama-tama siap mendukung.
Minimal untuk membeli novelku yang pertama itu. Karena mereka aku percaya diri,
bahwa ternyata diri ini bisa menulis. Bahwa ternyata tulisanku layak juga
dibaca oleh orang lain dan tak hanya menumpuk di laptop atau hanya sekadar
tertimbun di blog pribadi saja. Yah, syukur alhamdulillah. Meski aku banyak
dosa begini, tapi Allah masih tetap saja menyayangiku. Ya Allah, betapa baiknya
kamu ini.
Karena teman-teman aku jadi yakin bahwa apa yang aku lakukan tak akan
sia-sia, walau belum menghasilkan uang banyak. Tak apa, seperti yang telah
kubilang tadi segalanya butuh proses, perlu melewati fase-fase merangkak
semacam ini. Roma tak dibangun dalam semalam, boy. Nabi saja perlu waktu
berdakwah 23 tahun untuk bisa membuat pondasi Islam kuat. Masih mending nabi
Muhammad hanya puluhan tahun, bandingkan dengan nabi Nuh yang kudu berdakwah
sampai 950 tahun tapi hanya punya umat 80 orang. Waduh! Apalagi aku ini, bukan
nabi. Jelas perlu merangkak sementara supaya bisa mencapai tujuan. Menjadi
penulis. Yang terkenal, yang banyak duit, yang punya istri cantik. Dan punya
motor Win 2000 serta Honda Trueno AE-86 seperti si tukang tahu.
Sore tadi aku bercerita pada kawan terbaikku, Salma. Ia, teman kuliahku
sewaktu di Jogja. Usianya di bawahku, kalau tak salah dua tahun. Kuliahnya pun
sama, kami terpaut dua angkatan saja. Sudah sejak dari zaman kuliah ia adalah
satu-satunya perempuan tempat aku bisa menunjukkan kerentananku sebagai lelaki.
Hanya kepadanya. Dan sejauh ini, setelah terpisah hampir enam tahun tapi aku
tetap menceritakan segala sesuatu kepadanya. Ah, betapa, begitu aku
menyayanginya. Tak terbayang kalau dalam momen-momen rendah seperti ini ia tak
ada. Tak tahu akan seperti apa jadinya.
Kuceritakan padanya bahwa dua minggu yang lalu aku baru saja selesai dari
sebuah komitmen. Sakit, sakit sekali rasanya. Setelah dua tahun lebih, meski
kadang sudah sering kubayangkan sebagai bentuk antisipasi, tapi jika
merasakannya secara langsung dan benar-benar terjadi, perih juga rasanya hati
ini. Kubilang apa aku salah kalau ingin tetap menjadi penulis, mempertahankan
apa yang aku bisa dan menurutku benar. Apa kurang kompromi? Apa aku memang
perlu kompromi untuk hanya sekadar dicintai oleh perempuan di zaman kiwari?
Sebab, perempuan yang kucintai menginginkanku kerja sebagaimana orang lain.
Kerja di kantor, 9 to 5, mendapat gaji bulanan, dan sudah. Tak perlu fokus pada
mimpi dan mengejar cita-cita, fokus saja pada kenyataan, pada kehidupan
sehari-hari yang dekat.
Apa aku salah kalau tak ingin kompromi dan mempertahankan yang menurutku
benar sebagai jalan hidup?
Katanya aku tak salah. Aku tak perlu kompromi, aku tak perlu mendengarkan
apa kata orang. Hidup saja sebagaimana aku menginginkannya dan mempercayainya.
Terus saja seperti itu sampai bisa membuktikannya. Bukan membuktikan pada
orang-orang yang telah menyepelekanmu, tapi terutama kepada dirimu sendiri.
Begitu katanya. Aku harus ingat cerita seorang kakek dan cucu beserta seekor untanya. Kukira aku tak perlu mengulang, pasti sudah pada tahu. Begitulah
manusia, akan selalu serba salah. Jadi dalam hidup aku tak perlu mendengarkan
apa kata orang. Kecuali nasihat ibu dan bapak. Selain itu, gas saja sampai
entah ke mana. Terus saja melangkah.
Aku sadar dan tahu bahwa apa yang dikatakannya sangat klise. Tapi ini bukan
soal berbobot atau tidaknya, ini lebih tentang oleh siapa hal itu dikatakan.
Beruntungnya aku punya kawan semacam dia. Beruntung sekali kata-kata semacam
itu keluar dari kawan terbaikku. Ah, sekali lagi, aku benar-benar begitu
menyanginya. Aku akan selalu berdoa untukmu, Salma. Mendoakan segala yang
terbaik untukmu. Tolong, jangan pernah kapok mendengar ceritaku. Kecuali
mungkin kalau kamu kelak sudah menikah. Aku juga akan tahu diri.
Selebihnya, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih untuk
selalu ada di sana, menolongku tanpa jam dan waktu. Selalu mendengar keluh
kesahku, selalu mau mendengarkan segala kisah yang barangkali hanya sampah
saja. Atau setidaknya, tak semua perlu diceritakan. Tapi, kupikir, bukankah itu
gunanya teman? Sebagai tempat untuk sekadar berbagi sampah saja. Saling
membersihkan diri lewat cerita dan tawa atau malah sesekali lewat duka. Tak apa.
Namanya juga manusia, bukan nabi, kan?
Kamu harus selalu sehat, Salma. Karirmu harus baik. Hidupmu harus maju.
Nanti kita bertemu, ngaliwet, makan-makan sebagaimana dulu kita sering
melakukannya. Lalu kita akan nongkrong, menghabiskan malam sambil ngopi dan
merokok bersama sambil menyeruput kopi hitam. Eh, kamu masih merokok apa tidak?
Semalaman kita akan bersama, membicarakan kehidupan masing-masing sampai subuh.
Seperti halnya dulu, kita akan berbahagia bersama, menertawakan hidup yang
brengsek. Tapi toh kita mesti tetap hidup walau tak berguna.
Hmmm. Betapa aku merindukanmu….
Komentar
Posting Komentar