Dari Rusia, Menuju Usia

 

2018 aku mulai menulis skripsi. Jika dipikir-pikir sekarang—meski sebenarnya saat itu aku juga sangsi apa skripsi yang kutulis akan manfaat untuk orang lain atau minimal untuk diri sendiri tapi—ternyata ada gunanya juga. Yah setidaknya tak cuma sebatas tumpukan kertas yang dijilid dan diberi judul dan disimpan di perpustakaan kampus dan hanya jadi penghangat di sana di sela-sela gedung yang terlampau dingin.

Dulu aku ingin tampak keren dengan menjadi berbeda, dengan melawan arus, dengan tak mengambil jenis penelitian yang mainstream. Padahal banyak kawan menyarankan ambil yang banyak diambil orang saja, biar punya teman saat mengerjakan, biar punya teman kalau bingung, biar punya teman untuk berbagi rasa cemas, dan karena, biar bisa lulus bareng-bersama seangkatan. Kupikir-pikir sekarang, ada benarnya juga sih. Soalnya sekarang aku tahu, skripsi yang bagus adalah skripsi yang selesai. Sederhana saja.

Tapi dulu aku tak berpikir begitu. Suatu siang menjelang sore di kelas Research Methodology dosen menjelaskan tahapan-tahapan saat mau mulai menulis skripsi. Dia jelaskan sampai habis, sampai tuntas, sampai akhirnya menyuruh kami untuk mulai memikirkan mau meneliti apa dan pakai teori apa. Sebagian teman bertanya apa yang paling banyak diambil, apa kesulitan dan kemudahannya kalau mengambil ini atau itu, dan dia menjawab bla-bla-bla sambil memungkasi dengan sedikit rasa frustasi di wajahnya, “Yang penting jangan ambil feminisme, soalnya udah banyak yang pakai. Jadi di jurusan kita udah dilarang.”

Setelah itu dia bilang. Ada satu teori yang sampai hari itu sejak jurusan Sastra Inggris didirikan belum pernah dipakai sama sekali. Entah karena apa, entah apa alasannya. Padahal, kata dia, justru yang dihindari itu yang paling mudah, tak butuh banyak bab dan langsung menukik ke inti. Beda dengan, misalnya, mengambil objek penelitian film dengan teori Hero’s Journey-nya Joseph Campbell. Mungkin karena nama teorinya ada Rusia-nya, katanya. Rusia negara komunis, dan bangsa Indonesia, sudah pasti pengecut dan munafik kalau bicara soal komunis.

“Ayolah! Mahasiswa itu harus berani,” dia menutup kelas dengan cara paling ngehe.

Tanpa pikir panjang, saat itu aku langsung berpikir akan menulis skripsi menggunakan teori Russian Formalism atau Formalisme Rusia.

Mulailah aku banyak bertanya pada dosen itu. Tentang buku-buku, tentang referensi, tentang objek penelitian, tentang ini dan itu, tentang banyak hal. Seabreg referensi berupa buku dan artikel sudah terkumpul. Objek penelitian sudah diputuskan, lagu Rap God dari Eminem.

Aku mulai berkenalan dengan nama-nama seperti Viktor Shklovsky, Jan Mukarovsky, dan Roman Jakobson. Kubaca buku-buku mereka, kuserap karya-karya mereka, dan setelah berbulan-bulan berusaha menahan rungsing karena kepala yang terus begolak, akhirnya aku bisa menyederhanakan maksud mereka. Bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang bentuknya juga baik. Penekanannya ada di form, bukan content. Melalui literary devices (perangkat kesusastraan) atau elemen-elemen formal.

Meski aku masih mengingatnya dengan baik, semua hal dan materi sampai tetek-bengek perkara Russian Formalism tapi tak akan kubahas lebih jauh. Pertama, sudah pasti bahasannya akan panjang dan rentan menimbulkan perasaan bosan serta kedua, tulisan ini memang tidak dimaksudkan untuk ngomongin itu.

Ini gunanya skripsi yang kutulis. Nah ini maksudku.

Abah Erza, seorang kawan, seorang penulis lirik partikelir, malam-malam mengirimkan lagu baru sekaligus liriknya. Lagunya tak panjang, dua menit lebih sedikit. Tapi lagu yang tak panjang ini, saat kudengarkan rasanya begitu menukik, tanpa basa-basi langsung ke inti. Dan setelah kubaca liriknya, wah, bajingan sekali ternyata.

“Apa jangan-jangan dia komunis?”

“Tentu saja bukan, bego.”

Meski tak sepenuhnya menerapkan kaidah-kaidah formal dalam liriknya, tapi form dalam lirik yang ditulis Abah Erza membuatku mudah memahami dan merasakan apa yang sedang menjadi kegelisahannya. Selain itu, form atau bentuk penulisan lirik itu menyeretku untuk memahami relasi antara subjek (penulis lirik) dan objek (lirik) secara perlahan. Walau dalam Russian Formalism isi tidaklah begitu ditekankan, tapi seperti kata Roman Jakobson:

“Neither Tynyanov, nor Mukarovský, nor Shklovsky, nor I have preached that art is sufficient unto itself; on the contrary, we show that art is a part of the social edifice, a component correlating with the others, a variable component, since the sphere of art and its relationship with other sectors of the social structure ceaselessly changes dialectically. What we stress is not a separation of art, but the autonomy of the aesthetic function.”

Yah begitu. Jadi, meski yang ditekankan adalah bentuk sebagai fungsi estetik, tapi orang-orang Russian Formalism itu juga sadar bahwa bagaimanapun, sastra tak bisa dilepas-pisahkan dari hubungannya dengan si penulis.

Jadi, liriknya akan tetap kutafsir walau sedikit.

Waktu kini terasa seakan

kian bertalu

tak lagi berdengup seperti

lalu

Kini waktu memang semakin berisik di tengah arus zaman yang serba cepat. Waktu yang tak pernah bisa dikendalikan manusia memang akan selalu lebih cepat. Sekeras apa pun manusia berupaya mengendalikannya, tapi akhirnya akan gagal juga. Sebab, untuk mengendalikannya butuh cara pikir dan pemahaman yang oke sedang manusia kini sudah banyak yang tak tahu bagaimana caranya untuk berpikir dengan oke. Proses berpikir itu rumit, makanya daripada berpikir mending nyinyir saja. Di medsos, di tongkrongan, di mana pun tersedia waktu dan kesempatan. Dari sanalah proses dan hasil penilaian jadinya sangat serampangan sekali.

Beruntungnya aku dimiliki

memiliki kamu

Kita masih bernafas

di tengah dera yang

menyesakan.

Namun untung. Di tengah-tengah dunia yang gila ini masih ada orang-orang yang menyayangi penulis. Rasa sayang yang telaten selalu mencoba memahami, kasih sayang yang tak canggung merangkul saat sakit di hati. Bisa jadi itu keluarga, ibu, istri, atau anak-anak terkasih. Atau, bisa jadi juga “kamu” dimaksudkan sebagai bentuk panggilan intim kepada Tuhan semesta alam. Sebab kemudian, baris tadi dilengkapi baris di bawah ini:

Semoga semesta

membagi kesempatan

Hingga kita tak urung

bertahan hidup.

Baris keras kepala, baris yang menunjukkan kebebalan seorang hamba untuk tetap-terus melangkah menapaki jalan menuju Tuhannya. Di sana ada harapan, ada doa-doa yang mengapung menuju mega-mega. Kencang sekali.

Mari kita tetap tersenyum saja

Mungkin tanpa berfikir

Atau berlaku luar biasa

Mari tak membebani tangis

Mungkin dengan

menggantung mimpi

dan menertawai harapan

Dan pada akhirnya, sebagai seorang hamba, penulis mengakui bahwa yang membikin susah hidup adalah pikiran-pikiran kita sendiri. Tak ada yang lebih menyusahkan hidup daripada pikiran-pikiran dalam diri. Maka bait terakhir adalah bentuk paripurna pengakuan seorang hamba yang sadar kalau tanpa pertolongan Tuhan, manusia hanyalah makhluk lemah tanpa daya. Tawakal tumbuh di sela-selanya, rasa syukur merekah dari dalam dadanya, dan bukankah itu inti dari menjadi seorang hamba?

Nah!

Tanpa usia kita tak akan pernah mengerti apa pun. Dan ya, benar juga entah kata siapa, bahwa masalah dalam hidup dimulai saat kita berambisi untuk menjadi “seseorang”.

Wallahu’alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Juga

Kereta Jurusan Surga

Si Pohon Kelapa