Catatan Harian Iblis: Pintu Ajaib Kekufuran
Dalam urusan menggiring manusia ke neraka biar aku punya teman di sana,
salah satu kerjaan yang paling kusukai adalah memasukkan kesedihan ke dalam
hati manusia. Ah, sungguh! Manusia, jika hatinya sudah tenggelam dalam
kesedihan, segala hal buruk kantun menunggu beberapa menit untuk terjadi.
Apalagi di zaman seperti sekarang. Ketika anak-anak Adam dari yang paling
kecil sampai yang paling gede sudah tak bisa hidup tanpa hapenya yang pintar,
benar-benar mudah rasanya. Aku kantun menuntun mereka melihat satu video dan hatinya akan langsung sedih. Betapa
tugas yang teramat enteng bin menyenangkan.
Sering aku menuntun manusia ke sana, ke reels
instagram atau beranda tiktok. Di sana kubuat mereka tenggelam dalam
konten-konten yang berisi pencapaian hidup orang lain. Anak-anak muda yang
meski usianya masihlah muda tapi sudah tajir melintir. Anak-anak muda yang
sudah punya pemasukan 10 miliar di usia 23 tahun, anak-anak muda yang sudah
punya rumah dan mobil mewah di usia 25 tahun, anak-anak muda yang lolos jadi
pegawai BUMN atau PNS, anak-anak muda yang gaul yang up to date yang selera fashion-nya
setara seleb-seleb internasional yang barang-barangnya seluruhnya branded yang hidup dalam telaga
kebebasan dan bisa bercinta dengan siapa pun yang diinginkannya tanpa pikir
panjang.
Mereka yang kutuntun, setelah menonton video-video
pendek semacam itu, sering merasa iri pada nasib orang lain yang begitu
bagusnya. Sedang mereka terbaring rebahan di kasur kosan yang kumal atau di
balik meja perusahaan dengan gaji UMR, orang lain di luar sana hidup dalam
gelimang keberuntungan yang tak ada habis-habisnya. Perasaan iri membawa mereka
merenungkan hidupnya. Hidupnya yang menyedihkan, hidupnya yang biasa-biasa
saja, hidupnya yang begitu-begitu saja. Setelah itu mereka akan sedih, dan—ini
bagian yang paling aku suka—mereka akan lupa bagaimana caranya bersyukur. Berjatuhanlah
mereka karena siasatku, bergelimpanganlah mereka di dalam perangkapku.
Seorang lelaki mengutuki nasibnya yang jelek. Sudah 30 tahun hidup tapi ia
hanya hidup dalam keserba-biasaan. Gajinya sebulan hanya sejuta lima ratus,
motornya jelek, tak punya kekasih, hidup jauh dari keluarga di kamar lembap
penuh sawang, setiap hari berangkat kerja sepagi mungkin dan pulang selarut
yang ia bisa tapi tetap, kerja kerasnya tak menghasilkan apa pun. Sudah kerja
sekeras apa pun hidupnya tetap begitu, menyedihkan, tak seperti lelaki lain
yang penuh gemerlap warna-warni. Tak seperti lelaki lain yang bisa seenak jidat
meniduri perempuan-perempuan cantik, tak seperti lelaki lain yang motornya
bagus yang mobilnya impor dari Eropa, tak seperti lelaki lain yang gemar
liburan sembari staycation bersama
kekasih tercinta. Hatinya kemudian akan bergejolak: Apa salahku? Mengapa aku
begini-begini saja? Mengapa aku tak kunjung sukses? Katanya hasil tak akan
pernah menghianati usaha tapi buktinya? Aku masih miskin, aku masih jauh
tertinggal dari orang lain. Menyedihkan!
Seorang perempuan mengutuki nasibnya. Ia sudah hidup selama seperempat abad
tapi hidupnya masih begitu-begitu saja. Tiap hari kerja, selalu berdoa di
sela-sela waktu, rajin puasa sunah, tak pernah terlewat salat duha, tapi
hidupnya masih begitu-begitu saja. Gajinya masih kecil, kegiatannya
membosankan, naik pangkat entah akan atau tidak, tak ada lelaki yang tertarik
padanya, sudah mau kepala tiga tapi belum punya pencapaian. Padahal di luar
sana ia yakin banyak perempuan yang tak lebih rajin daripada dirinya entah
dalam hal kerja atau dalam hal ibadah. Tapi hidup mereka kok enak? Perempuan-perempuan
di luar sana bisa hidup enak tanpa beban padahal aurat selalu diumbar ke
mana-mana. Sementara ia yang taat, kok hidupnya garing begitu? Hidupnya terasa
berat, lambat, belum punya pencapaian yang luar biasa. Tapi kok
perempuan-perempuan itu, perempuan-perempuan yang auratnya ke mana-mana,
perempuan-perempuan yang sering staycation
bareng kekasihnya, perempuan-perempuan yang paha-dadanya terbuka untuk konsumsi
publik, perempuan-perempuan yang doyan party
dan minum-minum, kok hidup mereka sebegitu majunya? Apa yang diinginkan selalu
datang. Perempuan-perempuan itu bisa mencapai apa yang diinginkannya. Hatinya
akan bergejolak: Kok aku begini? Menyedihkan!
Yah itulah dua contoh keberhasilan kerjaku. Aku senang, sungguh senang
sekali. Kerjaku sungguh well well well.
Aku berhasil menanamkan kesedihan melalui pintu iri. Kesedihan yang kutanam di
dalam dadanya, kesedihan yang tumbuh subur di dalam hati dan otaknya, kesedihan
yang berbunga dan berbuah di dalam perasaan dan pikirannya. Dan ya, betapa aku
sangat menikmati ketika mereka mulai menjadi orang-orang yang kufur nikmat,
ketika mereka mulai buta dan tak bisa melihat nikmat sesungguhnya yang
diberikan Allah. Ha-ha-ha. Ya Allah, betapa hamba-hambamu itu sungguh bego
bukan main. Mereka sungguh tolol tak kepalang.
Karena mereka kufur nikmat, karena kemampuan bersyukur mereka semakin
tumpul, sejak saat itulah aku yang memenangkan pertempuran ini. Mereka jadi lupa
bahwa udara yang dihirupnya gratis adalah nikmat, lupa bahwa tubuhnya yang
sehat adalah nikmat, lupa bahwa gajinya yang kecil padahal berkah itu adalah
nikmat, lupa bahwa kebosanan yang menjauhkannya dari maksiat itu adalah nikmat,
lupa bahwa kehidupan serba-biasa yang menjauhkan mereka dari penyakit hati
adalah nikmat, lupa kalau masih bisa bersujud dan beribadah padaMu adalah sebaik-baiknya
nikmat. Terlebih lupa bahwa nikmat yang sesungguhnya terdapat dalam kehidupan
sehari-hari yang kecil yang sepele yang biasa-biasa saja. Mereka benar-benar
melupakan semuanya hanya karena satu hal saja: melihat kehidupan orang lain di sosial
media.
Mereka lupa bahwa kehidupan biasanya itu sebetulnya adalah luar biasa. Betapa
banyak di luar sana, di Palestina misalnya, orang-orang yang menginginkan
kehidupan biasa itu. Punya tempat tinggal, kalau hujan tak kehujanan, kalau
panas tak kepanasan, bisa makan dengan tenang, punya kerjaan walau gaji kecil
tak mengapa yang penting bisa hidup dan beribadah dengan baik. Bisa salat di
masjid, bisa merayakan maulid, bisa bercengkrama dengan keluarga dan
teman-teman, bisa menghirup udara perkebunan dan pesisir pantai dengan bebas tanpa
takut diberondong peluru Zionis Israel.
Banyak dari mereka di luar sana yang tak bisa makan yang kelaparan yang sakit
yang sekarat yang benar-benar-benar menjalani harinya di antara hidup dan mati,
tapi orang-orang ini malah merasa hidupnya gagal karena belum punya pencapaian
luar biasa? Tapi orang-orang ini malah merasa sedih karena belum punya rumah
dan mobil dan kekasih dan gaji tiga digit? Ha-ha-ha. Betapa tololnya mereka—dipikir-pikir,
aku hebat juga bisa bikin mereka menjadi goblok begitu.
Manusia, manusia. Tanpa kebijaksanaan mumpuni, manusia memanglah hanya
sekadar makhluk tolol bin kufur nikmat. Padahal banyak orang di luar sana atau
bahkan tetangganya sendiri kesusahan kelaparan tak bisa makan, tapi mereka
resah karena karirnya masih begitu-begitu saja? Tapi mereka resah karena tak
punya kerjaan dan jabatan yang mentereng untuk diunggah di sosial media? Benar-benar.
Kadang aku heran, tapi dipikir-pikir buat apa? Dari dulu manusia memang tolol,
kok. Tak ketulungan. Itu mengapa aku ogah sujud pada Adam. Kenyataanya, kini, aku
toh memang lebih baik daripada Adam dan anak-cucunya.
Sorry ya. Iblis-iblis begini aku masih lebih memahami apa
maunya Allah jika dibandingkan dengan kalian manusia-manusia yang lekat ibadah
dan berdoa di kamar rumah yang hangat sembari meminta hidup yang enak yang
dilimpahi sehat dan harta yang gemilang padahal di sekitar masih banyak
tetangga kelaparan. Betapa! Bodoh kok dipelihara. Tolol kok dikembang-biakkan.
Huh. Untung saja manusia-manusia masih sedikit yang mendengarkan pengjian
Gus Baha. Kalau sudah banyak, celaka! Tentu akan bikin kerjaanku makin susah.
Komentar
Posting Komentar