Compos Mentis
Di akhirat kelak.
Seorang lelaki berjalan digiring dua
malaikat di kiri dan kanannya. Ia tak diborgol apalagi dirantai karena memang,
lelaki itu bukanlah seorang tahanan. Walau tegang karena takut apa yang dibayangkannya
seratus persen akan terjadi, tapi lelaki itu mencoba santai berjalan dan
berupaya tetap tegar. Karena ia tak bisa membikin tagar, jadi ia hanya bisa
melakukan itu.
Sampailah si lelaki ke tempat yang
luas. Ia berhenti melangkahkan kaki saat seorang malaikat kiri menarik
tangannya. Ia terpesona. Tempat apakah ini?
Ia mencoba mengamati. Dilihatnya,
dipandanginya, dipikir-pikir. Tempat ini begitu luasnya. Yang dipijaknya bukan
tanah meski padat, terasa agak lembek juga sebenarnya walau bukan pasir. Sebuah
padang, tapi jelas bukan padang pasir. Padang Pariaman? Padang Bulan? Rumah Makan
Padang? Waduh, pikirnya—jadi teringat menu ikan tongkol dan udang kesukaannya.
“Kau datang juga.”
Meski tak pernah mendengar suara itu
apalagi bertemu tapi si lelaki tahu siapa yang barusan berbicara padanya. Tubuhnya
rubuh ditopang lutut. Kepalanya menunduk menahan gejolak lubuk. Perasaannya bubuk.
Dari segala arah banyak peti tiba-tiba
beterbangan, berjatuhan, mengelilingi dirinya. Peti-peti itu banyak,
besar-besar, tampak berat-berat. Si lelaki bisa menduganya dari suaranya ketika
menghantam tanah. Peti-peti terus beterbangan, berjatuhan, mengelilingi dirinya,
menghujaninya di padang itu. Peti-peti begitu banyak, mulutnya sudah tak bisa
menghitung, matanya sudah tak bisa lagi memandang. Seluas penglihatannya yang
terbatas, ia tak menemukan di mana peti-peti tersebut berakhir.
“Peti-peti ini adalah dosa-dosamu.”
Terbukalah peti-peti yang begitu
banyaknya itu. Peti yang ada di hadapannya menunjukkan rekaman dirinya sedang
mencemooh seorang ustad. Peti yang ada di samping kirinya menunjukkan rekaman
dirinya sedang mabuk-mabukan, mengisap ganja, dan tidur pulas melewatkan
jumatan selama tiga bulan. Peti yang ada di samping kanannya menunjukkan
rekaman dirinya sedang membicarakan saudara-saudaranya, berzina, membohongi
orang tua. Semua peti terbuka, dan dari sana seluruh keburukan dan dosa-dosanya
diperlihatkan, dipertontonkan pada dirinya.
“Habislah aku,” pikirnya.
Si lelaki ingin menyesal, tapi kini
untuk menyesal pun ia terlambat. Sudah tak ada waktu, bukan saatnya untuk
cengeng. Mari hadapi konsekuensi dari segala perbuatannya, dari setiap
keputusan-keputusan dalam hidup singkatnya.
“Maka neraka adalah sebaik-baiknya
tempat untukku.”
Sebuah peti kecil melayang menghantam
kepalanya.
“Kalem. Aku belum
memutuskannya.”
Peti-peti tadi ternyata belum
semuanya, dan inilah peti yang terakhir: peti kecil yang menepuk jidatnya. Si
lelaki diberi tahu. Peti kecil itu berisi kebaikan yang tersisa dalam dirinya. Hanya
itu kebaikan yang bisa ditemukan dalam dirinya. Satu-satunya, tak ada lagi.
Tahu begitu si lelaki semakin pasrah
saja. Peti sekecil itu, kebaikan yang ditampungnya pun pastilah sekecil itu
juga. Kebaikan sekecil itu, mana mungkin bisa bersaing dengan peti-peti besar
nan berat lagi penuh dosa. Gawat darurat.
“Aku belum memutuskannya. Malaikat,
buka!”
Seorang malaikat mendekati peti kecil
itu. Langkahnya tampak bergetar, sebentar! Sebenarnya seluruh tubuhnya yang
bergetar. Si malaikat bergetar karena takut, untuk menyentuh peti kecil itu
saja lamanya minta ampun. Tapi tetap, tetap saja ia kudu mematuhi perintah,
menjalankan tugas dengan baik. Sambil bergetar menahan takut, peti
kecil dibuka, tampaklah lafadz laa ilaaha illallah.
Peti-peti besar nan berat lagi penuh
dosa meledak. Semuanya meledak. Malaikat bertasbih, alam semesta bersujud, bocah-bocah
reggae berhenti berjingkrak. Seorang malaikat bangkit, menendang si lelaki
kuat-kuat sampai membuatnya terlempar ke sebuah kebun kopi yang dipenuhi
tembakau yang di bawahnya mengalir sungai vodka—tempatnya kemudian.
Allah tersenyum. Manis sekali.
*
Aku terdampar pada sebuah kesadaran.
Usia tak kunjung muda, umur tak lagi
bertambah, nyawa tenggelam di dalam gelas kopi. Kemampuan fisik menurun, mata
perlahan rabun, kulit sekering gurun, darah tak merah marun, dan ternyata hidup
terbatas kurun; waktu.
Waktu yang itu-itu juga. Waktu yang
mendiami pikiran dan perasaan. Waktu yang cepat, waktu yang kejam, waktu yang
sulit dikejar apalagi ditangkap apalagi ditaklukkan. Waktu yang digdaya, yang
tak bisa dikalahkan, yang tak terkalahkan. Waktu, waktu, harus sekuat apa agar
aku bisa menjadi sekutu?
Sore tadi aku kembali melatih
otot-otot tubuh. Satu menit melakukan plank, push-up 45 kali, squat 36
kali, melatih otot leher 24 kali, dan sisanya sedikit kardio dan radio/video1.
Nyata, aku semakin lemah. Malam hari badan pegal-pegal, berdiri agak kepayahan
karena paha rasanya sakit, betis kaku, lengan tak luwes, leher tak mampu
mengejar putaran barang sekali saja. Waktu, aku ingin sekuat dirimu tapi apa
cukup hanya dengan begitu?
Sudah kumasuki pula
perusahaan-perusahaan yang ada tapi belum ada hasil. Memancing memang sulit; butuh
keterampilan, skor TOEFL minimal 500, tinggi badan tak kurang dari 175 cm,
berpenampilan menarik, bisa memancing dalam tekanan, mampu memancing dalam
individu atau tim, tak boleh berhaluan kiri, kudu setia pada Pancasila,
menguasai minimal taijutsu (dojutsu yang sudah aktif mangekyu sharingan teramat
direkomendasikan), kebal api dan senjata tajam, tahan dibanting besi, cekatan mencukur rambut,
piawai memainkan minimal tiga alat musik tiup seperti harmonika, klarinet, dan
suling Sunda, terakhir beriman pada hari akhir dan sudah punya SKCK. Hadeh,
untuk memancing saja syaratnya bejibun. Bikin mendidih ubun-ubun. Memancing sudah
sesulit itu, apalagi untuk mencari umpan.
Umpan bertebaran di mana-mana. Di beranda,
di jendela, di halaman, di langit-langit. Mana yang baik sulit ditakar, mana
yang akan menghasilkan luput dari sertifikasi halal, mana yang punya manfaat;
hanya bocah epep yang bisa melihatnya.
Pasangan ini lihatkan biaya nikah mereka versi low budget; tak sampai tiga juta totalnya. Nikah low
budget: make-up 0 rupiah (dandan sendiri), sewa baju 250.000, nikah di KUA gratis,
snack 300.000 (dihadiri teman dan keluarga sudah senang pol), fotografer 0
rupiah (difotoin teman sebisanya), sewa kamera 55.000/24 jam, mahar perhiasan
2.220.000, total: 2.825.000, tak sampai tiga juta. “Yey, halal! Nunggu apa
bestieee? Nikah itu murah, yang mahal niatnya.”
Well said. Niat memang enteng di mulut
berat di perut, alias selalu bikin mules karena pencernaan yang merupakan otak
kedua kita sudah tak kuat membantu otak utama yang telah lama menderita disfungsi
ereksi alias gangguan tegangan. Tegangan yang tak stabil, yang meloncot-loncat,
tak konstan, membuat kabel-kabel dalam kepala korslet.
Wkwk dokter kandunganku dulu
mengatakan janin yang aku kandung, “Ooh, bayi parasit ini, hehe,” secara
harfiah depan aku dan bidan. Kok bisa? Berat badan aku gak naik sama sekali
sampe kehamilan ke-6 bulan, tapi bb janin naik terus. Hamil tuh merusak tubuh
ibu, try tell me the opposite.
“I agree that bayi is a parasite. Tapiiiiii
kenapa kok tetep pengen hamil dan punya anak yaaaaa ☹((( it’s gonna be hard for me to able to, tau padahal kalau tubuh ni
bakal acak-acakan pas hamil, tapi keinginannya juga besar gituloo.. I sometimes
think is this normal or not?”
“Kehamilan merusak tubuh perempuan”.
Tapi, giliran pengen cantik alis dicukur habis, wajah dibakar laser, idung
dipotong, payudara disumpel implan, bibir disulam, pipi dibordir, kuping ditusuk jelujur, jidat disablon; woman, woman...
“Oh gak punya rahim dan payudara,
pantes ngomong gini.”
“Heh goblok mending diem!”
“Tolol banget bjir.... Lu disekolahin
gak sih?”
“What went through your head when you
decided to compare pregnancy with those?”
“Ya emang faktanya begitu. Susah sih
kalo gak ngerasain mah. Yang namanya hamil terjadi perubahan fisik dan hormon
habis-habisan. Payudara kendor, puting item, perut ngembang, belom lagi muncul
strechmarks. Setelah ngelahirin pun perut juga gak langsung kempes begitu aja,
butuh lagi pemulihan biar badan bisa bagus lagi. Belom lagi kalo ikut KB, dan efek
KB itu juga bikin badan gendut, kulit kering. Besok-besok kalo mau bikin opini
dipikir dulu tolol. Lo kira jadi cewek gampang?”
Menikah, punya anak, memutuskan
segala sesuatu tanpa melibatkan uang orang lain sama sekali, di negeri ini,
mengapa setiap orang tak bisa berbahagia dengan caranya masing-masing?
“Kami berjanji, akan membawa negeri
ini menuju INDONESIA CEMAS 2045!”
*
Kesadaran.... Di manakah aku?
So I start a revolution from
my bed2. Maka aku pun tidur, lalu melancong ke negeri-negeri jauh di balik
cermin3. Aku merajut hari dari benang-benang mimpi yang kusut,
menenun doa dalam salat yang tetap. Melukis langit merah muda, menanam jagung
di kebun kita, sepagi ini sarapan api, tuan dan nyonya belajar logika sudah sampai
mana?4
Dirimu melayang-layang di sana,
menyambar-nyambar. Aku masih terlelap dalam kacau, masih bermimpi dalam sakau. Tak
dapat lagi kuayunkan kedua tangan ini, tak dapat lagi kulangkahkan kedua kaki
ini, dan kedua mata ini hanya mampu meratapi kecantikanmu, dan kedua telinga
ini hanya sanggup menangkap rintihanmu, dan hati, dan pikiran ini, belum
benar-benar berada pada tempat sebagaimana mestinya.
Aku selalu kangen. Pada Godog, pada
Kahuripan, pada mio merah 2006 pelat T, pada wajahmu yang ayu, pada alismu yang
perkasa, pada matamu yang bening, bening sekali. Sayangnya aurora tak mampir ke
sini. Kupikir dari jauh ia sudah minder padamu. Pada kursi di lantai dua, pada
kursi rotan dekat kasir, pada musola yang menampung genangan senja, pada kamu
yang mengisi segala ruang, pada kamu yang mengikat segala waktu, bolehkah aku
ikut rebahan barang sebentar?
Dunia telah terlampau keras, dan aku
tak mau menjadi lebih keras. Batu diadu batu, sudah pasti hasilnya hancur. Aku tak
boleh menjadi keras, jadi lebih keras. Tubuhku harus liat, tekadku harus liat,
langkahku harus liat, doaku harus liat. Biar kalau jatuh tak langsung hancur, biar
kalau dibanting tak langsung patah, biar kalau berakhir hanya serupa renggang
tak pernah putus. Aku tak ingin semua ini berakhir, tapi ingin semua ini
menjadi awal. Awal dari segala Syawal. Hari bahagia. Hari kemenangan.
Aku rindu. Tanpamu, kesadaranku ini,
apalah artinya?
Kepalaku rumah sakit jiwa yang kesepian
ditinggal penghuninya mudik liburan.5
1 Lagu System Of A Down, Radio/Video.
2 Dari lagu Oasis, Don’t Look Back
in Anger.
3 Penggalan puisi Joko Pinurbo, Di
Salon Kecantikan.
4 Dari lagu Sisir Tanah, Konservasi
Konflik.
5 Puisi Joko Pinurbo, Suwung.
Komentar
Posting Komentar