Perjalanan Ujang Rohidin
Seharusnya memang benar, Ujang Rohidin
masih harus disiksa selama ribuan tahun lamanya di neraka. Namun hari itu,
entah di hari apa, seorang Malaikat ujug-ujug datang untuk mengangkat sekaligus
menjemputnya dari sana. Ujang Rohidin sangat heran, mengapa seorang bajingan
keparat laknat sepertinya bisa-bisanya diangkat dari neraka dan katanya akan
dipindahkan ke surga. Ia heran sebab, selama hidup di dunia dirinya tak pernah merasa
sekalipun beribadah. Ujang Rohidin tak pernah sholat, puasa juga, zakat
apalagi, berangkat haji juga mana mungkin, dan ia juga tak pernah sama sekali
membaca al qur’an.
Seingatnya, selama hidupnya di dunia,
yang dilakukan Ujang Rohidin hanyalah maksiat. Berjudi di pangkalan ojek, mabok-mabokan,
jadi penadah motor curian, dan maling ternak-ternak di kampung adalah kegiatan
rutinan yang akhirnya menjadi pekerjaan tetapnya. Selain itu, Ujang Rohidin
juga adalah seorang penipu yang ulung, merangkap preman tukang palak, serta di
paruh waktu kadang menjadi tukang gebuk bayaran. Ujang Rohidin juga ingat, bahkan
mengingatnya sangat baik, bahwa pada saat di dunia dirinya pernah menyelingkuhi
istrinya dengan melakukan persetubuhan bersama perempuan lain.
Kejadian sebenarnya memang rada bisa
diperdebatkan apakah Ujang Rohidin benar berniat selingkuh atau tidak. Saat itu,
ia sedang asik berjudi dengan para preman dan tukang ojek di pangkalan ojek,
sekaligus pesta miras yang disponsori oleh uang dari hasil memalak truk-truk
proyek siang tadi. Ujang Rohidin lalu merasakan dirinya ingin kencing, dan ia
pun pergi ke kamar mandi di dalam warung tempat mereka biasa berkumpul. Dengan
rada tergesa ia masuk warung, mendorong pintu kamar mandi yang memang tak
pernah dikunci. Ujang Rohidin lupa dengan aturan kalau pintu kamar mandi
tertutup, itu tandanya sedang ada orang di dalam. Maklum saja, karena memang
dirinya sedang mabok. Saat pintu kamar mandi terbuka, ia kaget melihat Si Teteh
pemilik warung sedang kencing berjongkok tak bercelana. Ujang Rohidin merasakan
kemaluannya mengeras. Si Teteh warung hanya diam, memandangnya dengan wajah tenang
sekaligus genit. Sebagai lelaki, Ujang Rohidin tentu mengerti makna tatapan itu.
Ia kemudian menghampiri Si Teteh warung, meraba pahanya, payudaranya, dan tanpa
basa-basi membalikkan posisi tubuh Si Teteh, dan lalu menyetubuhinya dari
belakang. Begitulah persetubuhan singkat itu terjadi, tanpa niat dan rencana.
Barulah kemudian Ujang Rohidin merasa menyesal
dengan kenyataan bahwa dirinya telah menyetubuhi Si Teteh warung. Ia bukan
menyesal karena telah bersetubuh dengan perempuan selain istrinya, dan tidak
juga merasa menyesal karena telah menyelingkuhi istrinya. Penyesalan Ujang
Rohidin lebih karena dirinya baru ingat kalau Si Teteh warung itu memang jenis
perempuan yang ‘siap dipake’ kapan pun, oleh siapapun. Bahkan ia juga tahu
belaka, bahwa teman-temannya sesama preman atau tukang ojek pernah merasakan
tubuh Si Teteh warung dengan cara memberinya sedikit uang, atau kalau sedang
beruntung mereka bisa menyetubuhi Si Teteh secara gratis seperti yang baru saja
terjadi pada Ujang Rohidin. Itu sudah menjadi rahasia umum di antara mereka. Dan
ternyata, persetubuhan dengan Si Teteh itulah yang kemudian menjadi penyebab
kematian dirinya.
Enam bulan setelah melakukan
persetubuhan itu, kesehatan Ujang Rohidin menurun drastis. Berat badannya
turun, dari hari ke hari tubuhnya menjadi semakin kurus hanya tinggal tulang. Kata
dokter yang pernah memeriksanya, Ujang Rohidin terkena penyakit menular
seksual, dan dokter kemudian menjelaskan panjang lebar perihal penyakit ini
padanya. Ujang Rohidin tak begitu mengerti dengan penjelasan yang dipaparkan
dokter, ia hanya mengerti bahwa keadaan dirinya sudah parah, dan waktunya di
dunia hanya tinggal beberapa bulan saja. Benar saja apa kata dokter yang
memeriksanya, enam bulan setelah itu Ujang Rohidin didatangi malaikat maut,
nyawanya dicabut.
Sekarang, di perjalanan ke surga,
Ujang Rohidin ingin menanyakan mengapa dirinya akan dipindahkan ke surga. Ia
kemudian bertanya pada Malaikat yang membawanya:
“Apa kau tahu mengapa aku akan
dipindahkan ke surga?”
“Kau tak suka?”
“Bukan begitu. Tapi masalahnya, selama
hidup aku tak pernah beribadah. Bukankah surga hanya diperuntukkan bagi
orang-orang saleh yang taat dan rajin beribadah?”
“Aku tak tahu. Aku hanya diperintahkan
Tuhanku untuk mengangkatmu dari neraka, dan memindahkanmu ke surga.”
“Kau tak bertanya pada Tuhanmu
‘mengapa’?”
“Aku tak sepertimu, aku tak pernah
bertanya.”
“Jadi kau tak tahu?”
“Tidak, tanyakan langsung saja nanti!”
Ujang Rohidin sebenarnya ingin kembali
bertanya pada Malaikat tersebut mengenai pada siapa nanti ia harus bertanya.
Namun melihat cara Malaikat itu menjawab pertanyaannya, nampaknya ia memang tak
akan pernah mendapat sebuah jawaban memuaskan dari Malaikat yang sedang membawanya
ini. Kemudian pikiran Ujang Rohidin kembali melayang ke masa hidupnya. Ia
mencoba mengingat-ingat apa pernah ia melakukan kebaikan semasa hidupnya, sekecil
apapun itu. Dan hasilnya, ia tetap tak ingat. Ujang Rohidin terus mencoba
mengingat, dan tetap tak berhasil. Ia mencoba kembali mengingat, dan ia kembali
gagal. Ia kembali gagal sebelum kemudian memutuskan untuk tidak memikirkannya
lagi, yasudah kalau tak ingat, pikirnya.
Namun justru pada saat Ujang Rohidin
berniat untuk berhenti bertanya, sebuah ingatan tentang sebuah niat baik pada
masa hidupnya tiba-tiba muncul di dalam benaknya. Ujang Rohidin akhirnya mengingatnya.
Oh ya, dulu, saat dirinya sedang sakit parah setelah menyetubuhi Si Teteh
warung, dan dokter mengatakan bahwa sisa hidupnya hanya tinggal beberapa bulan,
pada masa itu Ujang Rohidin sempat berpikir untuk bertobat. Waktu itu, Ujang
Rohidin pernah mencoba untuk sholat beberapa kali, dan ia kemudian sholat meski
sebenarnya tak tahu apa yang harus dibaca saat sholat, dan tentu ia berhasil.
Ia sholat seadanya, semampunya, seingatnya, dan pertaubatan ini hanya berjalan
sebulan sebab dirinya keburu mati.
Pada akhir-akhir menjelang hayatnya, Ujang
Rohidin juga sempat menyesali semua perbuatan buruk yang pernah ia lakukan pada
semua orang, terutama pada dirinya sendiri. Ia menyesal pernah menjadi seorang
pemabuk dan penjudi. Ia juga menyesal pernah menjadi seorang preman, pernah sekali
berzinah, dan ia menyesal karena selama ini dirinya telah hidup sebagai seorang
keparat laknat. Dan anehnya saat itu, Ujang Rohidin berharap (atau semacam
berdoa) bahwa semoga Tuhan mengampuni dirinya atas segala dosa, dan juga semoga
semua orang yang pernah dirugikan, dibikin sakit, dibikin sedih, dibikin babak
belur, dibikin hina, dibikin menangis dan dibikin kehilangan, memaafkannya.
Mungkin memang benar, kebaikan sekecil
apapun meski hanya di dalam hati, akan selalu tercatat sebagai sebuah kebaikan.
Dan sekarang, pertobatan yang hanya selama sebulan itu tercatat dengan rapi
sebagai sebuah kebaikan yang akhirnya dapat menyelamatkannya dari siksa neraka.
Ujang Rohidin pun merasa lega, pertanyaan yang sedari tadi mengganggunya itu
kini sudah terjawab. Ia yakin, sangat yakin dengan jawabannya tadi.
Lamunan Ujang Rohidin saat itu buyar,
ketika Malaikat di sampingnya berkata “kita sudah sampai.” Ia terbangun dari
lamunannya, dan sadar bahwa dirinya belum sempat bertanya perihal tempat apakah
ini karena malaikat yang mengantarnya langsung pergi meninggalkannya begitu
saja. Ujang Rohidin terdiam, mengamati tempat ini. Seluruh tempat yang ia pijak
berwarna putih, putih seluruhnya. Ia merasakan tempat ini penuh kedamaian,
sebuah kedamaian yang penuh. Ujang Rohidin dapat mendengar suara air mengalir
dengan merdu, burung-burung bersiul, merasakan angin sepoi-sepoi seperti angin
di pesawahan saat siang hari. Dan sejuk, dan tenang, ia merasakan kesejukkan
dan ketenangan dalam intensitas yang begitu dalam. Suasana yang demikian itu
membuat Ujang Rohidin larut dalam kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan
sebelumnya. Ujang Rohidin merasakan sebuah kerinduan yang aneh. Semacam
kerinduan para petani yang telah lama menanti musim hujan datang, dan kemudian
menyaksikan hujan datang pertama kali dalam nada syahdu nan romantis.
“Selamat datang di surga, Ujang Rohidin!”
Ujang Rohidin membuka mata, melebarkan
kuping, dan berusaha menerka-nerka dari mana sumber suara tersebut. Sebenarnya
suara siapa yang tadi ia dengar, apakah mungkin itu suara Tuhan tebak Ujang
Rohidin dalam hati.
“Benar, Aku Tuhanmu.”
Demi mendengar jawaban itu tiba-tiba seluruh
tubuh Ujang Rohidin gemetar. Ia tak kuat untuk menahan getaran itu dan
hasilnya, ia tersungkur ke dalam posisi bersujud. Ujang Rohidin menangis sendu,
mengingat seluruh dosanya kembali, dan lantas merasa betapa dirinya tak pantas
untuk menjadi penghuni surga. Jelas, sangat tak pantas. Di hadapan suara
Tuhannya, Ujang Rohidin merasa malu. Ia tak pernah beribadah pada Tuhannya, tak
pernah menjalankan semua sabda-Nya dan malah dengan enteng selalu melanggar
perintah-Nya. Di dunia, Ujang Rohidin selalu jauh dari ayat-ayat Tuhan. Yang ia
lakukan hanyalah seluruhnya keburukan, mabok, judi, bikin onar, maling,
berzinah, dan membikin semua orang kesusahan.
“Tidak semua, Ujang Rohidin. Kau
pernah melakukan suatu kebaikan dengan ikhlas dan cinta. Itu yang membawamu ke
sini, ke surga.”
Walaupun sebenarnya tak berani, tapi
Ujang Rohidin sebenarnya ingin bertanya pada Tuhannya perihal kebaikan apa yang
ia lakukan di dunia yang lantas bisa membawanya ke surga. Namun mulutnya hanya
bergetar tak ada daya, tak mampu berucap. Sekali lagi Ujang Rohidin hanya bisa
menangis, dan hanya menangis yang ia bisa.
“Duduklah Ujang Rohidin, bicaralah Pada-Ku!”
Gemetar di tubuhnya dalam sekejap
hilang. Tubuh Ujang Rohidin kembali ke keadaan semula, dan ia merasa siap untuk
bertanya langsung pada Tuhannya.
Ujang Rohidin lalu mulai bertanya pada
Tuhannya:
“Ya Allah, Tuhanku. Dengan
Kekuatan-Mu, dan dengan Izin-Mu, izinkanlah aku bertanya. Mengapa aku bisa
masuk surga? Selama di dunia, aku tak pernah menjalankan Perintah-Mu, tak
pernah beribadah Pada-Mu, dan selalu abai pada Kitab Suci-Mu. Aku hanyalah
pendosa yang berlumur dosa, manusia yang tak manusiawi, dan makhluk yang lupa
diri. Mengapa Engkau memasukkan aku ke surga, Ya Allah, Tuhanku?”
“Sebab kau telah melakukan suatu
kebaikan yang hanya sedikit orang melakukannya, yaitu dengan ikhlas dan cinta.”
“Ya Allah, Tuhanku. Aku bukanlah orang
sholeh yang taat beribadah dan rajin berbuat kebaikan. Maka kiranya kebaikan
seperti apakah sebenarnya yang demikian itu?”
“Menurutmu apakah hanya orang
sholeh-sholeha yang taat beribadah dan rajin berbuat kebaikan yang bisa masuk
surga? Jika kau berpikir demikian Ujang Rohidin, Kukatakan padamu: tanpa
keikhlasan dan cinta, semua amal mereka tak akan pernah cukup. Ketahuilah Ujang
Rohidin, banyak orang beribadah dan berbuat baik lantaran hanya ingin masuk
surga, dan lantaran takut neraka. Dan hanya sedikit orang yang melakukannya karena
ikhlas, dan karena cinta Kepada-Ku.”
“Ya Allah, Tuhanku. Tapi aku juga tak
pernah mencintai-Mu, aku selalu melupakan-Mu.”
“Kau memang tak pernah mencintai-Ku
secara langsung, tapi kau Ujang Rohidin, telah mencintai Kekasih-Ku, Nabimu,
Muhammad.”
Ujang Rohidin terhenyak mendengar
jawaban Tuhannya. Ini merupakan kemungkinan dari jawaban paling aneh yang
pernah ia dengar. Benarkah ia telah mencintai Nabi Muhammad, pikirnya. Rasanya
selama hidup, hal seperti itu tak pernah terpikirkan olehnya. Sebabnya jelas, karena
dirinya terlalu sibuk melakukan segala macam maksiat yang menyenangkan. Dan sekali
lagi Ujang Rohidin bertanya di dalam hatinya, benarkah ia mencintai Nabi
Muhammad?
“Itu benar, Ujang Rohidin. Kau hanya
tak pernah menyadarinya.”
“Ya Allah, Tuhanku. Tapi bagaimana
bisa aku mencintai Nabiku, Kekasih-Mu, sedangkan aku tak pernah merasa
melakukannya?”
“Kau memang pelupa Ujang Rohidin,
sebagaimana umumnya manusia.”
Ujang Rohidin diam.
“Kekasih-Ku, Nabimu, Muhammad, datang
padaku untuk bertanya apakah masih ada dari sebagian umatnya yang masih berada
di neraka, dan Kujawab masih ada. Muhammad tak pernah tahan jika tahu kalau ada
dari sebagian umatnya yang masih berada di neraka, dan lantas ia bertanya
apakah ada di antara umatnya yang melakukan kebaikan walau sekecil apapun untuk
mengangkatnya dari neraka. Kemudian Aku berkata pada Muhammad, ada dari umatmu
yang pernah melakukan kebaikan kecil, tapi ia harus dibersihkan dulu sebelum
bisa diangkat ke surga. Muhammad kemudian bertanya lagi, kebaikan seperti apa
yang telah dilakukan umatku itu. Aku kemudian berkata pada Muhammad, bahwa kau
Ujang Rohidin, tanggal 13 Rabiul Awal tahun 1438 hijriyah pernah membereskan
kursi bekas acara pengajian Maulid Nabi di halaman masjid, di kampungmu. Kau
melakukannya sendirian, hatimu ikhlas, kau melakukannya dengan penuh cinta.”
Tiba-tiba ingatan Ujang Rohidin
menjadi jernih. Setelah mendengar perkataan Tuhannya, ia kemudian bisa
mengingat peristiwa itu. Saat itu, sekitar jam sebelas malam dirinya baru saja
pulang dari pangkalan ojek, seharian ia menongkrong di sana. Dan awalnya ia
kaget, saat lewat di jalan depan masjid ternyata sedang ada acara pengajian. Ia
tak pikir panjang, langsung berhenti dan lalu memarkir motornya sembarang di
pinggir jalan. Ia duduk di kursi kosong paling belakang, dan ternyata saat itu
Ajengan sedang menutup acara dengan berdoa. Ia kemudian ikut mengangkat tangan,
berucap amin, dan mengusapkannya ke wajah. Setelah selesai, dan orang-orang
kebanyakan pada langsung bubar kembali ke rumah masing-masing, entah kekuatan
apa yang menggerakannya, tiba-tiba saja ia membereskan kursi dengan semangat
yang aneh. Hal itu tak berlangsung lama, sebab halaman masjid tak begitu besar
dan kursi juga tak terlalu banyak. Setelah selesai, ia pun pamit pulang pada
beberapa orang yang ia kenal yang masih berada di sekitaran masjid.
“Jadi karena itu, Ya Allah, Tuhanku?”
“Benar. Setelah mendengar
Perkataan-Ku, Muhammad langsung memohon Pada-Ku untuk sesegera mungkin
mengangkatmu dari neraka sebab katanya kau Ujang Rohidin, adalah termasuk umat
yang mencintainya. Muhammad niscaya akan selalu menolong orang-orang yang
mencintainya. Sekecil apapun cintanya, ia akan selalu berusaha untuk menolong
umatnya. Dan Aku, tentu akan mengabulkan permintaan Kekasih-Ku, Muhammad.”
Komentar
Posting Komentar