Wates
Seharusnya ketika itu dia loncat saja dari kereta di Stasiun Wates demi mengejarmu dan menggabrukmu dan membawakan tas yang kamu jinjing dan bukan malah kembali masuk ke dalam gerbong dan duduk di kursi dekat pintu setelah mengecup keningmu dengan cepat tanpa aba-aba selain dari peluit petugas stasiun. Dia menyesalinya, sungguh. Sampai hari ini, kalau waktu bisa diulang dan jarak bisa dilipat dan kenangan bisa disimpan di dalam saku celana, dia masih menyesalinya dan ingin kembali ke sana. “Betapa bodohnya aku!” katanya dalam malam di teras rumah dekat selokan. Di stasiun kereta itu dia malah meninggalkanmu sendirian. Menanggun g berat dan beban. Membawa d i ri ke dalam kesendirian di bangku panjang yang sudah pasti membosankan. Menunggu seseorang bangun cepat sepagi itu dan menjemputmu. Paling-paling kamu hanya akan ditemani hape yang tak bisa diajak ngobrol. Kamu akan duduk, menunduk, memandangi hape terus-menerus. Sampai seseorang itu datang, berteriak padamu, menghampirimu, ...